PENDAHULUAN
Coxs (siklo-oksigenase) mengkatalisis reaksi oksigenasi dari asam
arakhidonat menjadi PG (prostaglandin) pada reaksi oksigenase G2 dan
reaksi reduksi menjadi PGH2 dalam reaksi peroksidasi. PGH2 adalah
prekursor yang umum untuk PGS, tromboksan dan prostasiklin, reaksi ini
dapat dikatalisis oleh sel spesifik PG isomerase. Hal yang menarik
perhatian ilmuwan pada penelitian Cox yaitu telah ditemukan bentuk kedua
yang dinamakan Cox-2 yang diinduksi pada jaringan tertentu oleh
sejumlah rangsangan dan sebuah peranan penting pada inflamasi, sakit,
dan demam. Obat anti inflamasi- non steroidal ( NSAIDs) digunakan untuk
pengobatan inflamasi dan demam yang akan memberikan efek menghambat pada
siklooksigenase, mekanismenya berdasarkan pada penghambatan mereka
terhadap biosintesis PG enzim Cox yang mempunyai peranan utama dalam
menyediakan prekursor PG untuk regulasi homeostatis. Fungsi penting dari
Cox-1 yaitu perananya dalam penyediaan prekursor biosintesis tromboksan
(Saqib dan Karigan 2009). Indometasin dan flurbiprofen yang digunakan
untuk mengurangi rasa sakit, inflamasi dan demam, inhibitor Cox-1 dan
Cox-2 mempunyai potensi yang sama. Penghambatan yang ditimbulkan Cox-1
akan menyebabkan efek samping yang berhubungan dengan lambung.
Inhibitor selektif Cox-2 yang baru mempunyai aktivitas anti inflamasi
yang hampir sama dengan inhibitor Cox non selektif.
Pencarian inhibitor Cox-2 selektif melibatkan sejumlah campuran dari
Cox-1 dan Cox-2. Pada umumnya mikrosomal atau enzim yang murni diberi
perlakuan. Nilai IC50 yang diperoleh sering berbeda hasilnya dengan
laboratorium. Potensi inhibitor pada pengujian keseluruhan sel Cox
umumnya > 10-fold lebih tinggi daripada sistem isolasi enzim,
sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi potensi penghambatan NSAID telah
diidentifikasi, termasuk juga konsentrasi peroksida, identitas bahan
reduksi co-substrat, konsentrasi substrat, dan lama preinkubasi antara
enzim dan inhibitor.
Aktivitas enzim Cox terisolasi telah diukur secara langsung oleh formasi
PG lewat uji immuno atau HPLC dengan suatu substrat radiolabel atau
dengan pengambilan oksigen. Teknik yang biasa digunakan untuk suatu
jenis high-throughput yaitu mengikuti oksidasi co-substrat sepanjang
reaksi peroksidasi ( reduksi dari PGG2 menjadi PGH2) menggunakan suatu
bahan reduksi fluorogenik atau kromogenik. Walaupun metode ini bukan
metode langsung, oksidasi peroksidase co-substrat TMPD
(N,N,N’,N’-tetrametil-p-fenilendiamina) untuk membentuk suatu campuran
biru (E610 14000 M-1′ cm-1) telah menunjukkan secara teliti tingkat
konversi dari asam arakhidonat menjadi PGH2.
Penggabungan uji kolorimetri untuk TMPD menggunakan Cox murni, yang
ditempatkan pada 96 plat dan suatu larutan penyangga yang berisi
Tween-20. Uji ini mengikuti uji pengubahan deterjen menjadi genapol
X-100. Terdapat perbedaan besar dalam pengujian menggunakan Cox-2 yaitu
keakuratanya lebih besar dengan penghambat dibandingkan dengan uji yang
lainnya. Perbedaan potensi inhibitor Cox-2 diteliti dengan kehadiran
genapol, walaupun pada penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hal
ini bukan fenomena genapol-spesifik.
Penelitian ini menguraikan bahwa kehadiran deterjen atau fosfolipid
dapat mengubah kepekaan penghambat pada Cox-1 dan Cox-2 murni. Sumber
dari efek ini adalah banyak inhibitor seperti membentuk suatu interaksi
monomer deterjen dengan protein Cox yang mengakibatkan beberapa
perubahan di dalam tetapan kinetik untuk pengikatan inhibitor sehingga
potensi akan meningkat. Hilangnya potensi diamati pada sekat inhibitor
tersebut ke dalam misel deterjen.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah asam arakhidonat
(peroksida bebas), ibuprofen, indometasin, naproksen, ovine Cox-1, asam
meklofenamat, asam niflumat, asam flufenamat, ketoprofen, karprofen,
isoksisam, piroksisam, zomepiraks, TMPD, asam arakhidonat (dengan 14C),
RS-ibuprofen, genapol X-100 , Triton X-100 dan Tween-20. Semua
inhibitor yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Departemen
kimia di Merck Frosst Kanada. Rekombinan manusia untuk Cox-1 dan Cox-2
dinyatakan dalam sel Sf9 dan telah dimurnikan.
Uji spektrofotometri Coxs
Aktivitas enzim dari pemurnian Coxs diukur menggunakan uji kromogenik
berdasarkan pada reaksi oksidasi TMPD sepanjang reduksi PGG2 menjadi
PGH2 yang diletakkan pada 96 plat. Pengujian campuran yang mengandung
100 mM Na3PO4, pada pH 6.5, 1 µM haematin, dan 1 mg/ml agar-agar dibuat
dalam volume 180 µl. Cox-1 40 nM dan Cox-2 20 nM dimurnikan. Pengujian
juga dilakukan pada deterjen genapol X-100 pada konsentrasi akhir 2 mM.
Pengujian keberadaan genapol, asam arakhidonat dan larutan TMPD dengan
disiapkan dalam 50% larutan etanol. Campuran diinkubasi awal pada
suhu-kamar (22° C) dengan tes senyawa dalam pelarut DMSO 4 µ l selama 15
menit sebelum inisiasi dari reaksi enzimatik dengan penambahan 20 µl
asam arakhidonat 1 mM dan 1 mM TMPD di dalam larutan penyangga (tanpa
enzim atau haematin).
Reaksi diaktifkan oleh penambahan enzim sebanyak 180 µl ke asam
arakhidonat/TMPD 20 µl dan inhibitor 4 µl. Aktivitas enzim diukur dengan
kecepatan alir dari oksidasi TMPD yang pertama yaitu 36 detik dan
diikuti peningkatan absorbansi pada panjang gelombang 610 nm. Percobaan
dikendalikan dengan menggunakan H2O2 0.4 mM sebagai substrat yang
menunjukkan bahwa inhibitor tidak mempengaruhi aktivitas peroksidase
dari Cox-2. Laju oksidasi non-enzimatik diamati untuk mengetahui
ketidakhadiran Coxs dan dikurangi sebelum perhitungan persentase
inhibitor. Nilai-nilai IC50 diperoleh dari mengepas data itu pada suatu
empat parameter model logistikal grafik terhadap persentase inhibitor
atau interpolasi data dengan menggunakan perangkat lunak Kaleidagraf.
Semua nilai IC50 dilaporkan sebagai hasil rata-rata percobaan yang
dilakukan sebanyak dua kali. Kinetika konstan untuk penghambat Cox-2
oleh ketoprofen, indometasin dan biaril. Uji spektrofotometri
menunjukkan ada atau tidak genapol 2 mM. Reaksi diaktifkan dengan enzim
atau inhibitor dan Cox-2 yang diinkubasi selama 5 menit sampai 15 menit
dan reaksi diaktifkan dengan substrat. Pengamatan pertama yaitu laju
kinetika dengan orde pertama. Aktivitas masing-masing konsentrasi
inhibitor dimasukkan ke persamaan y=a+b*exp(−kobs*t) menggunakan
perangkat lunak Kaleidagraf.
Uji asam arakhidonat dengan HPLC
Pengujian yang dilakukan hampir sama dengan pengujian TMPD. Preparasi
dilakukan dengan menggunakan asam arakhidonat (0.005 µCi) sebagai
substrat, konsentrasi akhir enzim sekitar 250 nM diletakkan dalam 96
plat yang diperoleh dari Nunc dan volume pengujian 50 µl. Setelah 1
menit reaksi dihentikan dengan penambahan 5 µl HCl 1 M dan 50 µl
asetonitril. Substrat sebanyak 50 µl diinjeksikkan ke dalam kolom HPLC
Nova-Pak C18 (3.9 mm × 150 mm) dengan eluen asetonitril:air:asam asetat
dengan perbandingan 85:15:0.1 dan laju alir 2 ml/min. Metabolit asam
arakhidonat dielusi selama 0.6-1.1 menit dan asam arakhidonat dielusi
selama 2.2-2.6 menit dengan menggunakan detektor Packard Flo-one
Radiochromatography.
Penentuan penghambat misel genapol
Pereaksi K3PO4 20 mM, KCl 200 mM, dan genapol X-100 2 mM direaksikan
pada pH 6.5 dengan laju alir 2 ml/menit. Inhibitor diinjeksikan
sebanyak 100 µl ke dalam fase geraknya dan dideteksi dengan detektor
radiokromatografi. Elusi dengan aseton sebanyak 6.30 ml. Selanjutnya
dilakukan pengujian dengan ultrafiltrasi. Larutan sebanyak 500 µl yang
mengandung 10 µM ketoprofen dan indometasin disiapkan dalam 100 mM
Na3PO4, pada pH 6.5, berisi 0-2 mM genapol dan disentrifugasi dengan
ultrafiltrasi jenis Mikrokon-30. Sebanyak 100 µl aliquot dan retentat
diukur konsentrasi inhibitornya menggunakan HPLC dengan kolom Nova-Pak C
(3.9 mm × 150 mm) dan dengan eluen asetonitril:air:asam asetat dengan
perbandingan 60:40:0.1 pada laju alir 2 ml/menit. Ketoprofen dan
indometasin dielusi selama 0.97 dan 1.38 menit secara berturut-turut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengenalan misel lingkungan berhubungan dengan potensi penyekatan
dari suatu substrat, enzim atau inhibitor ke dalam misel, seperti halnya
kemampuan untuk melakukan interaksi spesifik dari monomer detergen
dengan masing-masing komponen. Konsentrasi sub-CMC dari Tween-20 dengan
mantap dapat mengurangi kemampuan dari bufelone ke arah Cox-2, tetapi
oktilglukosida tidak mempunyai efek yang mendorong ke arah hipotesis
dari monomer Tween yang menginduksi beberapa kesatuan molekul
derbufelone. Kerja yang dilakukan menunjukkan bahwa yang berpotensi
sebagai inhibitor Coxs untuk memurnikan Cox-1 dan Cox-2 dipengaruhi
oleh kehadiran deterjen yang tidak mempunyai ion genapol. Banyak
inhibitor yang menjadi lebih potensial sehingga pergeseran dihubungkan
dengan perubahan hasil kurva dan beberapa perubahan dari kebergantungan
waktu. Subset yang lain lebih banyak mengandung inhibitor hidrofobik
yang kemampuannya menjadi berkurang dengan kehadiran genapol.
Mekanisme deterjen seperti genapol dapat meningkatkan potensi inhibitor
dan mengubah bentuk kurva, hal ini bergantung pada mekanisme
penghambatan Coxs oleh masing-masing penghambat. NSAIDs ibuprofen dan
asam flufenamat telah diuraikan menjadi kompetitor yang sederhana.
Selain itu, indometasin dan flurbiprofen adalah kebergantungan waktu
inhibitor non-kovalen, konsisten dengan dua tahap dari mekanisme
inhibisi enzim termasuk kecepatan interaksi reversibel dengan enzim
yang diikuti oleh pembentukan yang lambat dari suatu ikatan kompleks
yang kuat. Tingkatan inhibitor ini umumnya sangat lambat dibandingkan
dengan tingkatan perputaran inaktivasi enzim. Inhibitor ini efekif
irreversibel dan non-kompetitif. Cox-2 merupakan inhibitor yang
selektif, contohnya rofekoksib, selekoksib, DuP-697, dan NS-398
bertindak di dalam kebergantungn waktu menuju Cox-1, sedangkan inhibitor
yang tidak selektif menunjukkan mekanisme penghambatan yang sama menuju
kedua isoforms.
Genapol digunakan sebagai surfaktan pada penguujian fluorometri enzim
Cox sebab genapol tidak bertentangan dengan panjang gelombang yang
digunakan. Penelitian ini menggunakan beberapa NSAIDs antara lain
ibuprofen, ketoprofen, biaril A, biaril B, asam nuflemat, dan asam
flufenamat. Berikut adalah beberapa struktur NSAIDs yang digunakan
Gambar 1 Struktur NSAIDs dari biaril A, biaril B, tioflosulida, dan profen A
Preinkubasi dilakukan selama 15 menit. Sebelum reaksi inisiasi
berlangsung, Cox-2 murni 20 nM ditambahkan pada 100 µM asam arakidonat.
Waktu yang dibutuhkan untuk reaksi terasebut adalah 36 detik, reaksi
aktivitas Cox murni menurun dengan cepat dan memiliki waktu paruh 40
detik. Sejumlah Cox diuji dan nilai IC50 dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dari uji enzim Cox-2 lainnya. Sejumlah inhibitor banyak
mengandung lipatan yang lebih kuat pada uji TMPD daripada uji serupa
pada isolasi enzim. Uji TMPD diulangi dengan cara yang sama tetapi tanpa
deterjen maka terdapat perbedaan di antara keduanya. Nilai IC50
merupakan hasil perbandingan antara IC50 tanpa deterjen dan IC50 dengan
deterjen, nilai yang didapatkan berkisar dari >1900 untuk ibuprofen
dan 0,03 untuk biaril A. Konsentrasi Cox-2 yang diperoleh dengan adanya
genapol pada nimesulida dan flurbiprofen diperkirakan 20 nM.
Gambar 2 Hasil IC50 NSAIDs dengan genapol dan tanpa genapol
Semakin tinggi nilai IC50 maka potensi penghambatan yang terjadi pada
NSAIDs semakin rendah. Daya hambat maksimum diperoleh ketika diperoleh
nilai IC50 kecil yaitu pada NSAIDs jenis biaril A maupun biaril B. Nilai
IC50 menggambarkan kemampuan suatu inhibitor untuk menghambat substrat
sebanyak 50%. Senyawa NSAIDs yang digunakan juga diuji secara dua tahap,
yaitu uji TMPD dan uji arakhidonat. Hasil yang diperoleh berupa grafik
yang bentuknya menyerupai kurva titrasi. Efek genapol tidak terbatas
pada potensi inhibitor saja. Saat tidak adanya deterjen maka kurva
titrasi yang mencakup sejumlah campuran ibuprofen, ketoprofen, atau
karprofen, nimesulida, dan tioflosulida menjadi suatu bifasik yang
menunjukkan konsentrasi inhibitor antara 20- 80%. Konsentrasi inhibitor
yang sangat tinggi (30-100 µM) akan memberikan daya hambat yang tinggi.
Senyawa NSAIDs dititrasi dengan genapol 2 mM dan memberikan bentuk kurva
sigmoid normal dengan penghambatan maksimal yang hampir mencapai 100%.
Beberapa peningkatan inhibitor dengan genapol dihasilkan penurunan yang
besar pada nilai IC50 yaitu ibuprofen sedangkan flurbiprofen dan
karprofen mengalami peningkatan sekitar 60-100%. Pengujian ibuprofen
1-100 µM dengan TMPD memberikan penghambatan inhibitor dengan hasil 80
dan 60%.
Gambar 3 Hasil uji TMPD (kiri) dan uji arakhidonat (kanan) pada Cox-2 dengan inhibitor ibuprofen dan ketoprofen
NSAIDs lain juga diamati misalnya naproksen, nimesulida, piroksisam dan
tioflosulida, namun hasilnya kurang kuat daripada dengan genapol,
seperti biaryl A. Bentuk kurva biaril A adalah sigmoid untuk kedua jenis
uji (TMPD dan arakhidonat). Kehadiran genapol di dalam uji TMPD Cox-2
juga tidak signifikan mengubah potensi inhibitor Cox-2 selektif pada
rofecoksib dan etorikoksib. Delapan inhibitor yaitu ibuprofen, asam
flufenamat, Dup-697, biaryl A, indometasin, asam meklofenamat,
ketoprofen, dan nimesulida juga diuji menggunakan uji Cox-2 TMPD dengan 7
mM Triton X-100 dan 0.8 mM Tween-20. Pengujian inhibitor Cox-2
dilakukan dengan 12 µg/ml fosfatidilkolin. Preinkubasi Cox-2 dengan
fosfatidilkolin dilakukan selam 15 menit dengan tidak menyertakan
inhibitor sehingga mengakibatkan penurunan aktivitas Cox 87%. Nilai IC50
untuk ibuprofen dan asam flufenamat adalah 0.25 dan 0.3µM secara
berturut-turut. Pada kondisi serupa ketika fosfatidilkolin tidak ada dan
tidak mengandung deterjen IC50 memberikan hasil nilai-nilai > 100 µM
dan 75 µM secara berturut-turut.
Gambar 4 Hasil uji TMPD (kiri) dan uji arakhidonat (kanan) pada Cox-2 dengan inhibitor biaril A
Kehadiran genapol pada uji TMPD mengakibatkan peningkatan potensi IC50
ibuprofen dari > 100 untuk konsentrasi 0.045 µM. Oleh karena itu,
perubahan potensi inhibitor Cox-2 tidak terbatas pada genapol, tetapi
juga disebabkan oleh deterjen non-ionik lainnya seperti fosfolipid.
Hasil IC50 dan kurva sangat serupa dengan hasil menggunakan uji TMPD.
Untuk ibuprofen tanpa adanya genapol, pengujian TMPD menunjukkan 20%
inhibtor pada konsentrasi antara 0.5 dan 50 µM (IC50 > 100 µM)
sedangkan pada uji asam arakhidonat menunjukkan sekitar 55% inhibitor
(IC50 sekitar 2 µM) di atas cakupan konsentrasi ini tetapi hanya
mencapai 75% panghambat pada 100 µM. Kedua metode pengujian ibuprofen
dengan adanya genapol memberikan bentuk kurva sigmoidal normal dan nilai
IC50 50-200 nM.
Nilai IC50 yang lebih tinggi dari 200 nM pada pengujian asam arakhidonat
yang konsentrasinya lebih tinggi dari 250 nM diperlukan untuk
memperoleh hasil sekitar 50% konversi substrat pada reaksi terkendali.
Ketoprofen juga menghasilkan kurva bifasik ketika tanpa adanya genapol
untuk uji TMPD maupun uji asam arakhidonat Cox-2, menunjukkan nilai
inhibitor sekitar 70% dan memberi IC50 0.5 dan 0.35 µM secara
berturut-turut. Genapol akan memberikan hasil uji Cox-2 dan memberi
kurva sigmoidal normal dengan nilai IC50 sekitar 0.04 dan 0.1 µM
secaraberturut-turut. Kurva sigmoidal telah diperoleh dengan menggunakan
kedua metode pengujian ketika ada atau tidak adanya genapol untuk
biaril A dan indometasin. Nilai IC50 untuk indometasin hampir sama
dengan kedua tipe pengujian dengan konsentrasi 0.3 µM dan tidak dibuat
oleh deterjen. Biaril A dengan kedua metoda memberikan nilai IC50 yang
serupa tetapi potensi penghambat telah berkurang sekitar 10-fold ketika
terdapat genapol. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan genapol
terinduksi di dalam potensi pengujian dan uji TMPD dengan teliti
mencerminkan potensi inhibitor sebagai pengukuran oleh penghambat dari
inhibitor produksi PGH2. Bentuk kedua kurva untuk biaril A hampir serupa
sehingga dapat dikatakan bahwa biaril A merupakan NSAIDs yang
memberikan respon yang bagus.
Hasil Uji TMPD potensi inhibitor pada Cox-1 dengan dan tanpa menggunakan genapol 2 mM dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Hasil pengukuran potensi inhibitor pada Cox-1 dengan uji TMPD dengan dan tanpa genapol 2 mM
Pengujian potensi inhibitor menggunakan metode TMPD dilakukan dengan
cara menghitung IC50 dari masing-masing NSAIDs dengan dan tanpa
penambahan surfaktan yaitu genapol, dari masing-masing data yang didapat
dari IC50 dengan dan tanpa penambahan genapol dicari rasio IC50-nya.
Pada uji ini dapat terlihat senyawa Ibuprofen merupakan senyawa yang
memiliki rasio IC50 terbesar, terlihat dari penurunan nilai IC50 yang
sangat nyata pada keadaan sebelum penambahan genapol dan setelah
penambahan genapol. Nilai IC50 ini menunjukkan besarnya aktivitas
inhibisi dari NSAIDs terhadap Cox-1, sehingga semakin besar nilai
rasionya maka semakin baik NSAIDs itu dapat menghambat senyawa Cox
tersebut, dalam uji TMPD ini senyawa yang memiliki potensi paling baik
sebagai inhibitor cox-1 adalah ibuprofen.
Selain ditentukan senyawa inhibitor untuk cox-1, dalam penelitian ini
juga dilakukan penentuan senyawa inhibitor bagi cox-2, serta dilakukan
pula penentuan pengaruh deterjen terhadap inhibitor cox-2 tersebut.
Hasil penentuan senyawa inhibitor ini dan pengaruhnya terhadap
penambahan deterjen ini dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6 Hasil pengukuran potensi inhibitor pada Cox-2 dengan uji TMPD dengan peningkatan konsentrasi genapol
Pada gambar 6 dapat terlihat nilai IC50 pada beberapa senyawa NSAIDs
dengan peningkatan penambahan genapol, rentang konsentrasi yang
digunakan dalam percobaan ini adalah 0 sampai 8 µM. Pada penentuan ini
akan dilihat potensi senyawa NSAIDs ini dalam menginhibisi cox-2 seiring
dengan peningkatan konsentrasi genapol. Pada gambar 6 ini dapat dilihat
bahwa hampir sebagian besar NSAIDs yang digunakan tidak memberikan
nilai IC50 yang memiliki beda yang signifikan dengan seiring
bertambahnya konsentrasi genapol. Tetapi pada senyawa ibuprofen, asam
flufenamat, dan asam niflumat memberikan perubahan nilai IC50 yang
signifikan dari penambahan genapol 0 hingga 0,25 µM, tetapi nilainya
tidak terlalu berbeda nyata saat penambahan genapol 0,5 hingga 8 µM. hal
ini disebabkan karena genapol bekerja afektif pada 0 hingga 0,25 µM
sesuai dengan nilai konsentrasi misel kritisnya (cmc) yaitu sebesar 0,15
µM, sehingga saat konsentrasi genapol berada di atas konsentrasi misel
kritisnya genapol akan memberikan efek yang tidak terlalu signifikan.
Pada senyawa Dup-697, biaril A, dan biaril B tidak menunjukkan efek
apapun pada konsentrasi genapol 0.1 mM. Pada konsentrasi genapol di atas
0.25 mM nilai IC50 untuk masing-masing inhibitor meningkat dengan tidak
signifikan terhadap konsentrasi genapol.
Konsentrasi surfaktan di dalam campuran pada pengujian akhir, adalah 8
µM Triton X-100 untuk Cox-1 dan 0.3 mM oktilglukosida untuk Cox-2.
Konsentrasi misel ktitik campuran dua deterjen mendekati nilai dua cmc
yang lebih rendah dari deterjen yang tidak bercampur. Nilai cmc Triton
X-100 dan oktilglukosida lebih besar dari genapol sehingga misel
campuran akan memiliki nilai cmc yang hamper sama dengan genapol. Pada
gambar 7 disebutkan surfaktan-surfaktan yang dipakai serta nilai
konsentrasi misel kritisnya.
Gambar 7 Surfaktan yang digunakan beserta nilai cmc-nya
Waktu kebergantungan penghambatan Cox-2 oleh ketoprofen, indometasin,
dan biaril A diteliti secara lebih detail. Masing-masing penghambat
dilakukan preinkubasi dengan Cox-2 selama 0-15 menit sebelum berlangsung
reaksi inisiasi oleh substrat. Aktivitas Cox-2 ketika ada penghambat
masing-masing maka akan berkurang pada orde pertama, walaupun pada
ketoprofen ketika tanpa genapol akan mengalami kerusakan dengan jelas
dan aktivitas nonzero sisa diamati. Pada gambar 8 dapat diamati Laju
reaksi aktivitas Cox-2 pada ketoprofen dan biaril A tanpa dan dengan
genapol 2 mM.
Gambar 8 Laju reaksi aktivitas Cox-2 pada ketoprofen dan biaril A tanpa dan dengan genapol 2 mM.
Pada gambar 8 dapat diamati laju reaksi dari biaril A dan ketoprofen,
pada gambar sebelah kiri reaksi berjalan tanpa adanya genapol, dan
sebelah kanan reaksi berjalan dengan menggunakan genapol. Kurva sebelah
kanan untuk ketoprofen dan biaril A tanpa genapol menunjukkan laju
reaksi yang cukup besar dibandingkan dengan kurva sebelah kiri yang
terdapat campuran dalam genapol. Hal ini menunjukkan saat laju reaksi
masih tinggi, berarti masih terdapat senyawa cox-2 dalam campuran
tersebut, yang seiring berjalannya waktu inkubasi cox-2 tersebut akan
hilang. Kurva sebelah kanan yang merupakan campuran dengan keberadaan
genapol menunjukkan bahwa waktu reaksi semakin berkurang dengan waktu
yang sedikit, hal ini menunjukkan bahwa cox-2 yang berada dalam campuran
tersebut habis bereaksi dalam waktu yang cepat. Jika dibandingkan
antara biaril A dengan ketoprofen, yang memiliki tingkat inhibisi
terhadap cox-2 lebih baik adalah biaril A,. Hal ini dapat terlihat dari
laju reaksi yang terjadi pada biaril A dapat menurun secara signifikan
dalam waktu yang sedikit.
Studi terakhir menunjukkan bahwa pengikatan biaril heterosiklik
Cox-2-selektif yang menghambat SC-299 dengan Cox-2 terjadi melalui tiga
langkah. Percobaan fluorescens dengan SC-299 adalah konsisten dengan dua
langkah yang secara relatif cepat mencapai keseimbangan untuk Cox-1.
Dengan cara yang sama dua langkah dengan cepat interaksi Cox-2 dapat
dibalik dengan Cox-1-selektif inhibitor SC-560 juga diamati. Hasil ini
menyatakan bahwa kelihatannya dapat dibalik dengan cepat, kebergantungan
waktu inhibitor Cox juga mengikat lewat dua mekanisme bergantung pada
nilai mutlak tingkat tarif yang tetap untuk langkah keseimbangan yang
kedua, waktu ketergantungan boleh atau tidak mungkin secara eksperimen
tampak. Suatu model matematika dari dua mekanisme penghambatan
menunjukan bahwa konsentrasi inhibitor dan waktu preinkubasi, dan
presentase enzim didefinisikan dengan [ k2/(k2+ k-2)] x 100. Untuk
inhibitor dengan laju (k-2), lebih signifikan dibandingkan dengan laju
k2, aktiivitas Cox mendekati nilai non zero bahkan setelah waktu
preinkubasi. Hasil ini akan menunjukan bentuk kurva yang maksimal kurang
dari 100% penghambatan pada konsentrasi inhibitor yang tinggi.
Pada konsentrasi inhibitor yang sangat tinggi peningkatan lebih lanjut
pada penghambatan diamati untuk ibuprofen dan ketoprofen ketika ada
genapol boleh jadi mencerminkan adanya tambahan penghambatan kompetitif.
Deterjen mengubah bentuk kurva titrasi sehingga menghasilkan suatu
peningkatan antara persentase inhibitor. Oleh karena itu, dapat
dijelaskan oleh perubahan nilai relatif k2 dan k-2 untuk langkah kedua
pada pengikatan penghambat. Genapol menyebabkan peningkatan 13-fold pada
nilai k2 dan plot aktivitas Cox vs waktu ke arah suatu asimut dekat
dengan aktivitas nol. Pengubahan k2 atau k-2 juga mengakibatkan
peningkatan potensi penghambat secara keseluruhan untuk pemisahan tetap
(KD*). Gambar 9 menunjukkan tetapan laju pada penghambatan Cox-2 dengan
ketoprofen, indometasin, dan biaryl A
Gambar 9 Tetapan laju pada penghambatan Cox-2 dengan ketoprofen, indometasin, dan biaryl A
Pada gambar 9 dibandingkan tetapan laju antara ketoprofen,
indometasin, dan biaril A dengan dan tanpa penambahan genapol. Pada data
ini dapat terlihat bahwa pada biaril A dan indometasin terjadi
peningkatan laju reaksi yang signifikan pada penambahan genapol dan
tanpa penambahan genapol. Semakin besar tetapan lajunya, maka semain
cepat laju reaksi yang terjadi dan inhibisi yang terjadi semakin
efektif, pada data ini yang palin baik adalah biaril A dengan penambahan
genapol.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
sensitifitas penghambat COXs (siklo-oksigenase) dikenal sangat
bergantung pada kondisi-kondisi pengujian, kepekaan penghambat dari
pemurnian Cox-1 ditentukan dengan uji kolorimetrik yaitu menggunakan
bahan pereduksi N,N,N’,N’-tetrametil-p-fenildiamina. Selain itu
penambahan deterjen pada kerja NSAIDs berpengaruh positif dalam
peningkatan inhibisi senyawa isoform cox. Penambahan deterjen pada
senyawa NSAIDs berakibat meningkatnya potensi inhibitor pada senyawa
NSAIDs terhadap senyawa isoform cox. Senyawa inhibitor selektif untuk
cox-1 adalah ibuprofen, sedangkan pada cox-2 adalah biaril A.
Senyawa deterjen akan memberikan respon positif secara maksimum pada
titik konsentrasi misel kritisnya, dan pemilihan deterjen yang baik
yaitu deterjen yang memiliki konsentrasi misel kritis yang rendah
sehingga aman digunakan pada manusia. Deterjen yang palin efektif
digunakan adalah genapol X-100/
DAFTAR PUSTAKA
Saqib A, Karigar C. 2009. Cyclooxygenase isoform in healt and disease. J Pharmacology 7: 1.
Ouellet M, Falgueyret JP, Percival D. 2004. Detergent profoundly affect
inhibitor potencies against both cyclo-oxygenase isoforms. J Biochem
377: 675-684.