Sabtu, 08 Januari 2011

PENGOPTIMUMAN EKSTRAKSI DAN FASE GERAK KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS UNTUK PEMISAHAN KOMPONEN SELEDRI

PENGOPTIMUMAN EKSTRAKSI DAN FASE GERAK KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS UNTUK PEMISAHAN KOMPONEN SELEDRI
RATU LINA AYU WIANDANIE
Tanaman obat dan produk turunannya secara luas telah digunakan di berbagai negara. Terdapat banyak sekali komponen kimia di dalam satu jenis tanaman. Kuantitas dan mutu komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat bergantung pada waktu pemanenan, tanaman asal, proses pengeringan, perbedaan asal geografis, iklim, dan faktor-faktor lainnya (Liang et al. 2004). Banyaknya komponen kimia yang terdapat pada tanaman obat memungkinkan sulitnya untuk menjamin keamanan, kendali mutu, dan konsistensi produknya dibandingkan dengan obat sintetis (Reich & Schibli 2008). Dalam kendali mutu dan uji stabilitas produk tanaman obat, analisis kromatografi sidik jari merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan komponen-komponen kimia yang terdapat pada produk tersebut. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan pemrofilan keseluruhan komponen karena dapat memrepresentasikan keragaman komponen yang ada dalam tanaman obat tanpa memerhatikan jenisnya. Beberapa teknik kromatografi seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas, elektroforesis kapiler, dan kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk analisis sidik jari tersebut (Liang et al. 2004).
Seledri (Apium graveolens) merupakan salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Depkes 1998). Seledri secara luas digunakan sebagai obat asam urat, peluruh keringat, penurun demam, rematik, sukar tidur, dan penurun tekanan darah. Kandungan seledri yang telah diidentifikasi diantaranya flavonoid seperti apigenin, apiin, dan apiol. Selain itu, seledri juga mengandung manitol, inositol, asparigina, glutamina, kolina, dan linamarosa (Soedibyo 1998). Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 (BPOM 2004         ), apigenin  ditetapkan sebagai senyawa penciri pada seledri untuk evaluasi mutu bahan baku maupun ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat herbal komersial. Banyaknya komponen kimia serta perbedaan asal seledri yang memungkinkan perbedaan kandungan komponen kimia tersebut mendorong untuk dilakukan suatu pemisahan komponen menggunakan analisis sidik jari dengan KLT.
Metode KLT merupakan metode kualitatif yang dapat digunakan untuk kendali mutu tanaman obat. Analisis sidik jari menggunakan KLT telah banyak digunakan pada industri obat di Amerika, Eropa, dan Cina. Keuntungan penggunaan KLT pada analisis sidik jari, yaitu sederhana, selektif dan sensitif, cepat, biaya yang relatif murah, dapat mengujikan sampel yang banyak dalam waktu bersamaan, kromatogramnya dapat dilihat secara visual, dan volume pelarut yang digunakan sedikit (Liang et al. 2004). Hasil analisis sidik jari tersebut akan bergantung pada derajat pemisahan kromatografi dan sebaran komponen kimia pada tanaman obat. Pengoptimuman fase gerak pada KLT dan kondisi ekstraksi merupakan salah satu cara mendapatkan pemisahan komponen yang baik dan sebagai langkah awal analisis sidik jari. Kondisi ekstraksi perlu dioptimumkan terlebih dahulu untuk mengisolasi komponen kimia dari tanaman dengan jumlah yang maksimum, kemudian dianalisis dengan KLT menggunakan fase gerak yang telah dioptimumkan menggunakan rancangan campuran dan respon permukaan.
Metode ekstraksi yang ditetapkan oleh BPOM sebagai standar mutu ekstrak tanaman obat dengan menggunakan metode maserasi selama 72 jam tidak efisien dalam waktu ekstraksi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode ekstraksi lain yang bertujuan menjadikan proses ekstraksi lebih efisien dan mempersingkat waktu ekstraksi, salah satunya adalah ekstraksi sonikasi yang memanfaatkan gelombang ultrasonik (Melecchi et al. 2006). Pengaruh perbedaan metode ekstraksi antara maserasi dan sonikasi pada penelitian ini kemudian dibandingkan dengan melihat pola kromatogramnya pada KLT. Ekstraksi yang menghasilkan pemisahan terbaik lalu diujikan pada seledri dari berbagai daerah berdasarkan sentral produksinya untuk mengetahui pengaruh perbedaan daerah asal seledri terhadap komposisi kimia dan pola sidik jarinya. Parameter validasi metode seperti stabilitas, spesifitas, ketelitian, dan robustness (ketangguhan) digunakan agar dapat mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.

Seledri (A. graveolens)
Seledri merupakan tanaman yang diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Apiales, famili Apiaceae, genus Apium, dan spesies A. graveolens. Seledri memiliki khasiat untuk mengurangi asam urat darah yang tinggi, memacu enzim pencernaan (stomatik), peluruh kencing (diuretik), menurunkan tekanan darah (hipotensi), menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid, dan memperbaiki fungsi hormon yang terganggu. Seledri juga banyak digunakan untuk mengobati sakit mata, keseleo, dan sebagai penyubur rambut. Ciri makroskopis seledri berupa daun tunggal atau majemuk semu, tangkai silindris beralur, dan panjang tangkai 5-15 cm. Daun seledri berbentuk segitiga dengan ujung runcing, pangkal berlekuk, dan tepi bergerigi (Gambar 1). Dalam keadaan kering, daun seledri menggulung, berwarna hijau kecoklatan, beraroma kuat, dan rasa manis sedikit pahit (Djumidi et al. 1998).
Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada seledri diantaranya flavonoid dengan komponen utama apigenin dan apiin, minyak atsiri dengan komponen utama isokariofilen, kariofilen, stearaldehida, dan senyawa kumarin dengan komponen utama umbelliferon. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji diantaranya asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat, oleat, linoleat, dan petroselinat. Senyawa identitas dalam ekstrak seledri adalah apigenin dan apiin (BPOM 2004). Kandungan setiap 100 g herba seledri adalah air sebanyak 93 ml, protein 0.9 g, lemak 0.1 g, karbohidrat 4 g, serat 0.9 g, kalsium 50 mg, besi 1 mg, fosfor 40 mg, iodium 150 mg, kalium 400 mg, magnesium 85 mg, vitamin A 130 IU, vitamin C 15 mg, riboflavin 0.05 mg, dan tiamin 0.03 mg (Susiarti 2000).
3 vimage

Analisis Sidik Jari
Kendali mutu selalu menjadi persoalan dalam perkembangan tanaman-tanaman obat. Salah satu metode untuk kendali mutu multikomponen tanaman obat yang diterima secara luas adalah analisis sidik jari. Analisis sidik jari dapat memberikan informasi mengenai komponen kimia pada tanaman obat melalui pola kromatogram tanpa memperhatikan jenis kandungan komponennya. Analisis ini dapat menentukan identitas, mutu, dan keaslian tanaman obat serta menjamin keamanan dan konsistensi produknya. Analisis sidik jari tanaman obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu cara ekstraksi, instrumen pengukur, dan kondisi pengukuran (Borges et al. 2007).
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk analisis sidik jari adalah teknik kromatografi. Penelitian mengenai analisis sidik jari terhadap tanaman obat menggunakan teknik kromatografi telah banyak dilakukan, yaitu penelitian Borges et al. (2007) pada Camellia sinensis, Almeide dan Scarminio (2007) pada teh hijau, Soares dan Scarminio (2007) pada genus Bauhinia, dan Delaroza dan Scarminio (2008) pada Bauhinia variegate. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan KCKT dengan rancangan campuran simplex centroid. Teknik kromatografi yang paling luas digunakan pada fitokimia adalah KLT karena dapat diterapkan pada hampir setiap golongan senyawa kecuali komponen yang sangat atsiri (Harborne 1987). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis sidik jari pada tanaman obat dengan menggunakan KLT diantaranya Birk et al. (2005) pada spesies Passiflora, Chen et al. (2006) pada Puerariae lobate dan Puerariae thomsonii, dan Vermaak et al. (2009) pada Hoodia gordonii.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam proses pemurnian dan identifikasi senyawa kimia pada tanaman obat. Prinsip KLT adalah pemisahan komponen berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Sebaliknya, komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase gerak akan bergerak lebih cepat. Fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah silika gel, alumina, kieselguhr, dan selulosa (Adnan 1997).
Deteksi hasil pemisahan dengan KLT pada kromatogram (spot) dilakukan di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm atau penyemprotan dengan reagen tertentu seperti anisaldehida dan vanilin dalam asam sulfat. Pembentukan warna optimum pada spot bergantung pada suhu dan waktu tertentu. Suhu dan waktu optimum yang dapat digunakan untuk memunculkan warna dari spot setelah penyemprotan reagen adalah 105-110°C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006).
Eluen atau fase gerak pada KLT merupakan suatu medium angkut yang terdiri atas satu atau campuran pelarut tunggal. Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam melalui gaya kapiler sehingga terbentuk spot. Senyawa diidentifikasi berdasarkan penampakan dan jarak relatif komponen terhadap jarak pelarut yang kemudian dibandingkan dengan spot standar untuk analisis kualitatifnya. Representasi posisi spot pada KLT dapat dijelaskan melalui faktor retardasi (Rf) yang didefinisikan sebagai hasil pembagian antara jarak spot dari garis awal dan jarak batas akhir pelarut dari garis awal penotolan (Fried & Sherma 1982). Nilai Rf khas untuk setiap senyawa tertentu (Khopkar 1990). Bilik kaca berisi pelat KLT dan eluen ditunjukkan pada Gambar 2.
Saat ini telah dikembangkan KLT semiotomatis CAMAG Linomat V. Alat ini dikendalikan oleh suatu mikroprosesor yang menyebabkan larutan ekstrak dapat diaplikasikan pada pelat dalam bentuk pita dengan mengompresikan tekanan udara atau gas nitrogen sehingga tidak memerlukan kontak langsung dengan pelat dan dapat mengurangi kerusakan pelat (Wall 2005).

 


Gambar 2  Bilik kaca berisi pelat KLT dan    eluen.

Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemindahan suatu zat terlarut secara selektif dari suatu bahan dengan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur, kandungan air tanaman yang diekstraksi, dan jenis senyawa yang akan diisolasi (Harborne 1987). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Pelarut harus dapat berdifusi ke dalam sel tanaman dan senyawa harus terlarut secara sempurna di dalam pelarut sehingga tercapai kesetimbangan antara pelarut dan senyawa terlarut (Khopkar 1990).
Metode ekstraksi maserasi umum digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan terhadap panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan jangka waktu tertentu, biasanya dilakukan selama 24 jam tanpa menggunakan pemanas. Kelebihan metode ini diantaranya sederhana dan bisa menghindari kerusakan komponen senyawa. Kelemahan metode ini ditinjau dari segi waktu dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Meloan 1999).
Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001).

Rancangan Campuran

Rancangan campuran merupakan rancangan percobaan yang menjelaskan  bahwa dalam suatu percobaan terdapat campuran dari beberapa komponen dan penjumlahan dari tingkatan faktor untuk tiap-tiap kombinasi perlakuan konstan dan tetap (Montgomery 2005). Ciri rancangan ini adalah penjumlahan semua faktor harus sama dengan satu. Metode yang termasuk dalam rancangan campuran adalah simplex lattice, simplex centroid, dan extreme vertices. Simplex centroid digunakan untuk memberikan ulasan percobaan dari respon permukaan di bagian tengah bidang. Salah satu cara untuk menggambarkan model adalah mempertimbangkan struktur dari percobaan tiga faktor. Titik tengah ditempatkan dalam model dengan menemukan rata-rata tingkatan dari semua faktor  yang terlibat simplex. Rancangan yang menggunakan tiga komponen dalam simplex centroid berbentuk segitiga sama sisi dalam dua dimensi (Gambar 3) sedangkan responnya direpresentasikan dengan permukaan segitiga sebagai peta kontur yang masing-masing garis konturnya menggambarkan respon yang spesifik (Smith 2005).  







Gambar 3  Rancangan simplex centroid.

Rancangan Central Composite

Rancangan central composite menyatakan hubungan antara variabel bebas dan respon. Central composite digunakan pada sistem dengan banyak faktor yang memerlukan minimal dua variabel yang divariasikan (Zhang et al. 2007). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada tanaman obat dengan menggunakan rancangan central composite diantaranya Melecchi et al. (2006) pada Hibiscus tiliaceus, Banik dan Pandey (2008) pada Lantana camara, dan Durmus dan Evranuz (2010) pada Capsicum frutescens.
 Rancangan central composite untuk variabel bebas (k) = 3 ditunjukkan pada Gambar 4. Rancangan ini terdiri atas 2k faktorial. Titik faktorial merupakan kombinasi faktor-faktor yang divariasikan dengan nilai kode xk = ± 1 untuk memudahkan dalam perhitungan. Titik sumbu/aksial merupakan pelebaran dari pusat kubus sebanyak 2*k dan titik pusat yang dikodekan dengan nilai 0 untuk masing-masing xk yang dicobakan n kali..
                                                                                                                                                                                                                                                                                                   



Titik faktorial
Titik pusat
Titik sumbu/aksial
 
 




Gambar 4  Rancangan central composite
                    untuk 3 variabel bebas.

Validasi Metode

Validasi metode analisis merupakan suatu tindakan penilaian terhadap metode tertentu yang sesuai dan cepat untuk pengukuran sampel tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan yang tidak dapat dihindari dari suatu metode sehingga menjamin mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis, yaitu stabilitas, spesifitas, presisi, dan robustness (ketangguhan).

Stabilitas

Uji stabilitas pada validasi metode KLT terdiri atas kestabilan analat baik selama kromatografi, pada pelat, dalam larutan, maupun visualisasi. Pengujian terhadap stabilitas bertujuan mengetahui mutu bahan baku maupun produk tanaman obat yang dapat bervariasi bergantung pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembapan dan oksigen serta memungkinkan rekomendasi terhadap kondisi penyimpanan, waktu sebelum pengujian, dan penentuan waktu simpan terhadap pola sidik jari yang dihasilkan oleh analat(Koll et al. 2003).
Stabilitas analat selama kromatografi diuji dengan menggunakan kromatografi dua dimensi. Analat stabil selama kromatografi jika semua komponen berada pada garis diagonal yang menghubungkan posisi aplikasi dengan persimpangan bidang kedua fase gerak. Jika spot banyak muncul di atas atau di bawah garis diagonal, hal ini mengindikasikan ketidakstabilan analat selama kromatografi.
Kestabilan analat dapat diuji sebelum kromatografi (dalam larutan dan pada pelat) yang direkomendasikan selama 3 jam. Jika pola sidik jari KLT stabil serta tidak ada perubahan yang signifikan setelah dibandingkan dengan sampel yang masih segar, maka analat stabil dalam larutan dan pada pelat selama selang waktu pengujian. Hal ini dapat menunjukkan pengaruh waktu penundaan sebelum dan sesudah sampel diaplikasikan pada pelat terhadap pola sidik jari KLT.
Uji stabilitas hasil dilakukan dengan mengamati hasil dan daerah sidik jari KLT selama waktu tertentu. Analat stabil jika tidak menunjukkan penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan terhadap pola sidik jari KLT selama selang waktu pengamatan, yaitu 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam (Reich & Schibili 2008).

Spesifitas

Spesifitas merupakan derajat penyimpangan metode terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran atau senyawa asing lainnya dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Metode spesifik jika pola sidik jari sampel yang sama identik terhadap jumlah, warna, intensitas, dan posisi pita. Pita senyawa penciri harus terdapat pada sidik jari sampel (Reich & Schibili 2008).

Presisi

Presisi merupakan kedekatan nilai dari beberapa hasil pengujian. Keterulangan merupakan presisi yang diukur dari hasil penetapan dengan menggunakan laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, suhu, dan dalam waktu yang singkat. Validasi metode KLT untuk keterulangan dapat diterima jika semua pola sidik jari pada ketiga pelat menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing – masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.02.
Presisi menengah merupakan presisi yang diukur dari hasil penetapan dengan menggunakan laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, dan suhu yang sama namun pada waktu yang lebih lama. Validasi metode KLT untuk presisi menengah dapat diterima jika semua pola sidik jari pada ketiga pelat pada tiga hari berbeda menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing –masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.05 (Reich & Schibili 2008).

Ketangguhan


Ketangguhan merupakan ukuran ketertiruan  yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, suhu, dan waktu yang berbeda.
Validasi metode ketangguhan dapat diterima jika tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Uji ketangguhan pada validasi metode KLT membandingkan pengaruh penggunaan bilik kaca yang berbeda, yaitu twin trough dan flat bottom dan perbedaan nilai Rf tidak lebih besar dari 0.05 (Reich & Schibili 2008).

                BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik Precisa XT 220A, Camag Linomat 5 (Camag, Muttenz, Swiss), Camag Reprostar 3 didukung piranti lunak winCATS 1.2.3 untuk dokumentasi kromatogram KLT, bilik kaca kromatografi twin trough dan flat bottom, botol penyemprot KLT, oven Memmert, dan
sonikator Branson 1510.
Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk seledri dari 6 lokasi berbeda (Malang, Semarang, Garut, Bandung, Bandung Barat, dan Cianjur), standar apigenin yang diperoleh dari Sigma-Aldrich (St Louis, Amerika Serikat), pelat KLT silika gel  60 F254 20 x 20 cm (Merck, Darmstadt, Jerman), etanol 96%, pelarut untuk fase gerak dengan tingkat analitis yang diperoleh dari Merck dan Sigma-Aldrich (St Louis, Amerika Serikat) seperti n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, dan kloroform, asam sulfat pekat, vanilin dan anisaldehida.

Metode Penelitian
Preparasi Sampel

Ekstrak kental dari ekstraksi maserasi dengan metode yang ditetapkan dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 dilarutkan dengan etanol 96% sehingga diperoleh konsentrasi 10000 mg/L.

Kondisi KLT

Penotolan ekstrak maserasi dan filtrat dari ekstraksi sonikasi pada pelat menggunakan KLT aplikator semiotomatis, yaitu Camag Linomat V dengan menggunakan pelat silika gel 60 F254. Pelat dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 15 menit sebelum digunakan. Kondisi aplikasi antara lain gas pembawa adalah nitrogen, kecepatan pengiriman sampel dengan syringe sebesar 80 nL/s, aplikasi volume sampel sebesar 15.0 µL sedangkan 25 µL untuk larutan standar, lebar pita 8 mm, dan jarak dari tepi bawah pelat sebesar 15 mm.



Tabel 1  Rancangan komposisi fase gerak
Fase Gerak
Perbandingan komposisi (v/v/v)

A
B
C
1
1
0
0
1
2
0
0
3
0
1
0
4
1/2
0
1/2
5
0
1/2
1/2
6
1/2
1/2
0
7
1/3
1/3
1/3
8
1/6
2/3
1/6
9
1/6
1/6
2/3
10
2/3
1/6
1/6
 Pemilihan Pelarut

Sebanyak 5 mL masing-masing pelarut tunggal, yaitu n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, dan kloroform dimasukkan ke dalam bilik kaca kromatografi twin trough dan dijenuhkan selama 20 menit. Pelat KLT yang telah ditotolkan ekstrak dimasukkan ke dalam bilik kaca kromatografi. Elusi dilakukan hingga eluen mencapai jarak 0,5 cm dari tepi atas pelat. Pelat kemudian diangkat dan dikeringudarakan.
Deteksi komponen dilakukan untuk melihat pita atau bercak yang muncul pada pelat. Tiga pelarut yang dipilih dari dua belas pelarut tunggal, yaitu yang memberikan pita terbanyak dan memiliki keterpisahan yang baik yang kombinasinya ditentukan oleh  rancangan simplex centroid.

Komposisi Fase Gerak dengan Rancangan Simplex Centroid
(Almeide & Scarminio 2007)


Gambar 5  Titik selektivitas berdasarkan rancangan simplex centroid.

 Deteksi Komponen

Deteksi komponen dilakukan dengan tiga cara. Pertama, setelah pelat dikeringudarakan selama 5-10 menit, pelat disinari dengan UV 254 dan 366 nm menggunakan Camag Reprostar 3 sehingga pita akan terlihat (Fernand 2003). Kedua, pelat yang telah dikeringudarakan disemprot dengan campuran larutan vanilin-asam sulfat. Larutan vanilin-asam sulfat dibuat dengan melarutkan 0.25  gram vanilin dengan sedikit etanol dan ditambah asam sulfat pekat kemudian ditera dengan etanol pada labu takar 25 mL. Larutan disemprotkan pada pelat dan dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 105°C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006). Ketiga, pada pelat yang berbeda, pelat yang telah dikeringudarakan disemprot dengan larutan anisaldehida. Larutan anisaldehida dibuat dengan memasukkan 0.125 mL anisaldehida ke dalam labu takar 25 mL dan ditera dengan alkohol asam. Larutan disemprotkan pada pelat dan dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 105°C selama 5-10 menit. Masing-masing pita kemudian dihitung nilai Rf-nya.

Rf  = jarak komponen dari garis start
     jarak eluen dari garis start




Ekstraksi dengan Sonikasi
 (Melecchi et al. 2006)

Serbuk seledri kering dimasukkan ke dalam botol vial dan diekstraksi dengan etanol 96% dalam ultrasonik cleaning bath dengan frekuensi 42 kHz pada suhu ruang. Ekstraksi dihentikan dan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diujikan pada pelat KLT. Variasi perlakuan ekstraksi, yaitu bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi ditentukan dengan rancangan central composite yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2  Variasi ekstraksi sonikasi dengan    rancangan central composite  
     
Perlakuan
Bobot
(g)
Volume (mL)
Waktu (menit)
1
1
1.59
10
2
0.5
15
15
3
0.5
15
5
4
1
18.41
10
5
1.5
15
15
6
0.159
10
10
7
1.5
5
5
8
1
10
1.59
9
1.5
5
15
10
1.841
10
10
11
0.5
5
5
12
0.5
5
15
13
1.5
15
5
14
1
10
18.41
15
1
10
10
16
1
10
10
17
1
10
10
18
1
10
10
19
1
10
10
20
1
10
10

Preparasi Larutan Senyawa Standar

Senyawa standar apigenin dilarutkan dalam metanol p.a sehingga diperoleh konsentrasi 100 mg/L.

Validasi Metode
(Reich & Schibili 2008)

Spesifitas

       Ekstrak dari berbagai lokasi diaplikasikan pada pelat 12 x 10 cm dan dibandingkan dengan larutan standar apigenin. Sampel dan standar kemudian didokumentasikan


Stabilitas Analat Selama Kromatografi

Ekstrak diaplikasikan sebagai spot menggunakan pipet kapiler pada sudut kanan bawah pelat berukuran 10 x 10 cm (10 mm dari masing-masing tepi). Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat kemudian diputar 90° dan dikembangkan untuk kedua kalinya dengan pelarut pengembang yang masih segar. Pelat kemudian didokumentasikan.

Stabilitas Analat  pada Pelat dan dalam Larutan

Ekstrak diaplikasikan pada pelat 8 x 10 cm dengan 4 cara, yaitu sampel pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi, sampel segar diaplikasikan segera sebelum kromatografi (dua kali), sampel disiapkan 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan), dan standar apigenin. Pelat kemudian didokumentasikan.

Stabilitas Visualisasi

Ekstrak diaplikasikan pada pelat 3 x 10 cm dan diamati dengan visualisasi UV 366 nm. Pelat diamati selama 1 jam. Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam.

Keterulangan

Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda diaplikasikan pada tiga pelat berbeda dengan ukuran pelat 6.5 x 10 cm. Selain itu, larutan standar diaplikasikan sebanyak satu kali pada masing-masing pelat. Pelat dikromatografi menggunakan bilik kaca yang sama, namun dengan larutan pengembang yang masih segar. Pelat kemudian didokumentasikan.

Presisi Menengah

Prosedur sama dengan keterulangan. Akan tetapi, hanya menggunakan satu pelat dalam satu hari dan dilakukan pada tiga hari yang berbeda. Pelat kemudian didokumentasikan.

Ketangguhan

Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar diaplikasikan pada pelat dengan ukuran 6.5 x 10 cm. Pelat dikromatografi menggunakan bilik kaca twin trough dan flat bottom.  Pelat kemudian didokumentasikan. Hasil kromatogram dengan bilik kaca twin trough dan flat bottom kemudian dibandingkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Pelarut

Pemilihan tiga pelarut yang akan dikombinasikan sebagai fase gerak diawali dengan menguji 12 pelarut tunggal. Pemilihan ke-12 pelarut ini diharapkan dapat mewakili tingkat kepolaran senyawa yang terdapat pada seledri. Ekstrak yang digunakan, yaitu ekstrak maserasi menurut standar BPOM dengan menggunakan empat metode pendeteksian, diantaranya UV 254 dan 366 nm, vanilin-asam sulfat, dan anisaldehida dengan jumlah pita yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 6.





 Gambar 6  Hubungan antara jumlah pita yang  
                   dihasilkan menggunakan deteksi    
                 UV 254 nm, 366 nm, vanilin-  asam sulfat, dan anisaldehida.
                Keterangan :   = visualisasi dengan UV 254 nm,    = visualisasi dengan UV 366 nm,    = deteksi vanilin-asam sulfat,  = deteksi anisaldehida
                
Secara umum, pelarut yang menghasilkan pita terbanyak dan keterpisahan yang baik, yaitu kloroform, diklorometana, etil asetat dan dietil eter (Gambar 7). Jumlah perbedaan pita yang tampak dari keempat pendeteksian tersebut dikarenakan setiap deteksi memunculkan senyawa yang berbeda. Deteksi dengan UV digunakan untuk memunculkan senyawa yang dapat mengabsorpsi sinar UV, yaitu senyawa yang memiliki gugus kromofor (berkonjugasi). Sinar UV 254 akan memunculkan komponen sebagai bercak gelap di bawah UV sedangkan UV 366 nm akan memunculkan komponen yang berpendar/ bercahaya sehingga pita akan terlihat lebih jelas. Deteksi lainnya seperti vanilin asam-sulfat merupakan reagen yang umum digunakan dengan adanya reaksi pembakaran serta dapat mendeteksi senyawa terpenoid, sterol, alkaloid, dan senyawa lipofilik lainnya. Anisaldehida dapat mendeteksi senyawa-senyawa seperti halnya dengan vanilin-asam sulfat, namun biasanya memunculkan warna yang lebih beragam (Hajnos et al. 2008). Dilihat dari jumlah pita dan intensitas warna yang dihasilkan, deteksi menggunakan vanilin-asam sulfat lebih baik dibandingkan anisaldehida (Lampiran 3). Oleh karena itu, deteksi UV 366 nm dan vanilin-asam sulfat digunakan untuk deteksi pada langkah selanjutnya karena memunculkan pita yang lebih baik dibandingkan dua metode pendeteksian lainnya.

   A          B          C           D          E           F
  G           H           I           J            K          L

Gambar 7  Hasil elusi menggunakan pelarut tunggal (A) etanol, (B) THF, (C) asam asetat, (D) aseton, (E) metanol, (F) asetonitril, (G) butanol, (H) etil asetat, (I) diklorometana, (J) kloroform, (K) dietileter, dan (L) n-heksana dengan visualisasi UV 366 nm.

Berdasarkan pola pemisahan seperti ditunjukkan pada Gambar 7, pelarut yang bersifat cenderung polar akan menghasilkan pita dengan jumlah sedikit yang mendekati garis akhir dan berekor (Gambar 7A-F). Pelarut yang bersifat nonpolar akan cenderung tertahan pada garis awal dan tidak menghasilkan pemisahan komponen (Gambar 7L) sedangkan pelarut yang bersifat semipolar  menghasilkan banyak pita dengan jarak antarpita yang berdekatan (Gambar 7G-K). Perbedaan pola pemisahan ini disebabkan karena masing-masing pelarut memiliki kekuatan yang berbeda untuk memisahkan komponen (Lampiran 2).
Pita yang dihasilkan oleh etil asetat dan dietil eter memiliki jumlah yang sama, sehingga dilakukan pengujian awal sebelum pemilihan tiga komposisi fase gerak. Komposisi awal yang dicobakan adalah kloroform: diklorometana: etil asetat dan kloroform: diklorometana: dietil eter dengan
perbandingan yang sama, yaitu 1/3:1/3:1/3. Berdasarkan keterpisahan yang baik, maka komposisi fase gerak yang dipilih adalah kloroform, diklorometana, dan etil asetat (Lampiran 4). Pelarut-pelarut yang dipilih tersebut memiliki sifat semipolar sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa-senyawa yang terdapat pada seledri sebagian besar bersifat semipolar.
Penentuan Titik Optimum dari  Rancangan Simplex Centroid
Rancangan simplex centroid digunakan untuk menentukan komposisi pelarut sebagai fase gerak optimum. Ketiga pelarut terpilih, yaitu diklorometana, kloroform, dan etilasetat masing-masing sebagai titik A, B, dan C diujikan dengan komposisi pelarut seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Hubungan antara jumlah pita yang  dihasilkan menggunakan deteksi vanilin-asam sulfat dan visualisasi UV 366 nm dengan 10 jenis komposisi fase gerak ditunjukkan pada Gambar 8.
 










Gambar 8  Hubungan antara jumlah pita yang    dihasilkan menggunakan deteksi vanilin-asam sulfat dan visualisasi UV 366 nm pada 10 komposisi fase gerak.
                                  Keterangan :   = deteksi vanilin-asam sulfat,    
                                   = visualisasi dengan UV 366 nm

Berdasarkan Gambar 8 dapat terlihat bahwa komposisi pelarut yang memunculkan pita yang paling banyak, yaitu saat pelarut kloroform tunggal baik pada deteksi vanilin-asam sulfat maupun visualisasi UV 366 nm. Hasil Minitab 14 terhadap hubungan komposisi fase gerak dan jumlah pita menghasilkan persamaan regresi untuk menduga model dari kedua deteksi tersebut. Persamaan regresi untuk visualisasi UV 366 nm, yaitu Å· = 15.018A + 18.109 B + 10.290 C + 0.697 AB – 6.939 AC – 4.758 BC dengan faktor determinasi (R2) = 90.54 % (Lampiran 7). Persamaan regresi untuk deteksi vanilin-asam sulfat, yaitu Å· = 10.135 A + 10.862 B + 3.226 C – 3.859 AB – 7.131 AC – 1.677 BC dengan R2 = 94.21% (Lampiran 8). Dengan besarnya R2, yaitu lebih dari 90 % pada kedua deteksi tersebut menunjukkan bahwa kedua deteksi ini cukup baik dalam memunculkan profil sidik jari komponen karena jumlah pita yang dihasilkan cukup banyak. Daerah optimum yang dihasilkan oleh kedua deteksi ditunjukkan pada Gambar 9 dan dinyatakan dengan warna hijau tua.
 







A                                  B

Gambar 9  Daerah optimum pada visualisasi   
                   UV 366 nm (A) dan deteksi vanilin-asam sulfat (B).   
                    Keterangan: Jumlah pita visualisasi UV 366 nm     < 12,    =12-14,    = 14-16,    = 16-18,
>18 dan deteksi vanilin-asam sulfat    < 4,
     = 4-5,    = 5-6,    = 6-7,   = 7-8,     = 8-9,
     = 9-10,      >10

Daerah optimum untuk visualisasi UV 366 ditunjukkan ketika komposisi kloroform lebih banyak atau mendekati titik B dan hanya sedikit berada di daerah titik A dengan perbandingan diklorometana : kloroform, yaitu 0.04477 : 0.95523 (Lampiran 7). Lain halnya dengan deteksi vanilin-asam sulfat, daerah optimum ditunjukkan ketika warna hijau tua berada seluruhnya di daerah titik B. Hal ini menunjukkan bahwa titik optimum deteksi vanilin-asam sulfat, yaitu ketika digunakan pelarut kloroform tunggal (Lampiran 8).  Perbedaan titik optimum ini disebabkan adanya perbedaan jumlah pita yang terlihat pada kedua deteksi sehingga akan memengaruhi respon terhadap daerah optimum.
Hasil titik optimum yang d dari Minitab 14 tersebut kemudian diujikan kembali pada KLT untuk mengetahui profil pemisahannya. Hasil pemisahan yang dihasilkan pada kedua titik optimum masih menunjukkan keterpisahan yang kurang baik, yaitu jarak antarpita masih berdekatan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa rancangan campuran pada penelitian ini belum dapat digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak optimum dengan pemisahan terbaik. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam mencari fase gerak terbaik tidak hanya dilihat dari jumlah pita yang dihasilkan tetapi juga berdasarkan pemisahan antarpitanya.          Beberapa komposisi fase gerak lain di luar komposisi rancangan campuran perlu dicobakan sehingga diharapkan dapat menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Pemilihan komposisi tersebut berdasarkan hasil titik optimum visualisasi UV 366 yang menunjukkan komposisi kloroform lebih banyak dibandingkan diklorometana. Hasil analisis KLT dengan variasi perbandingan fase gerak yang dicobakan menunjukkan bahwa komposisi fase gerak kloroform : diklorometana dengan perbandingan 75:25 menghasilkan pemisahan terbaik dengan 19 pita (Gambar 10). Komposisi fase gerak ini digunakan sebagai fase gerak optimum untuk pemisahan komponen pada seledri.
klo-diklo 75-25
 








Gambar 10  Pola KLT pada fase  gerak   optimum ekstraksi maserasi dengan visualisasi UV 366   nm.
Ekstraksi Sonikasi
Setelah fase gerak telah dioptimumkan, maka dilakukan perlakuan 20 ekstraksi sonikasi. Pola KLT sidik jari seledri hasil 20   perlakuan ekstraksi sonikasi dengan visualisasi UV 366 nm ditunjukkan pada Gambar 11. Hasil KLT tersebut menunjukkan bahwa jumlah pita bervariasi, yaitu antara 6-14 spot untuk deteksi UV 366 nm dan antara 6-11 spot untuk deteksi vanilin-asam sulfat (Lampiran 9). Secara visual, perlakuan ekstraksi sonikasi yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dengan pemisahan terbaik dari percobaan adalah perlakuan 13. Namun, perlakuan ini bukan merupakan titik optimum ekstraksi sonikasi. Pendugaan titik optimum diperoleh berdasarkan data jumlah pita yang dihasilkan yang diolah menggunakan piranti lunak Minitab 14.




Gambar 11  Pola KLT seledri hasil 20     perlakuan ekstraksi sonikasi dengan visualisasi UV 366 nm.                                                 
Data yang diolah  menggunakan piranti lunak Minitab 14 dengan bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi masing-masing sebagai B, V, dan W menghasilkan persamaan regresi untuk visualisasi UV 366 nm, yaitu Å· = 12.8082 – 0.2197 W + 1.0817 B – 0.7822 V + 0.5769 W2 –1.0141 B2 – 0.3070 V2 + 0.1250 WB + 0.1250 WV – 0.1250 BV yang menunjukkan hubungan variasi ekstraksi sonikasi dengan jumlah pita (Lampiran 9). R2 yang diperoleh sebesar 51.8 %, artinya variasi variabel bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi yang digunakan dalam model mampu menjelaskan sebesar 51.8 % terhadap jumlah pita sedangkan persentase sisanya dijelaskan/dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Kondisi optimum ekstraksi sonikasi yang dihasilkan, yaitu level bobot = - 0.25487, volume = - 1.68179, dan waktu 0.0000 dengan masing-masing nilai level untuk bobot = 0.8726 g, volume = 1.59 mL, dan waktu ekstraksi selama 10 menit. Pola KLT pada titik  optimum ekstraksi sonikasi ditunjukkan pada Gambar 12.





Sonikasi optimum coba lagi 366+Ket 









Gambar 12  Pola KLT pada titik  optimum ekstraksi sonikasi pada UV 366 nm dengan waktu 10 menit.

Teknik Ekstraksi Terbaik

Profil sidik jari KLT yang diperoleh dari titik optimum ektraksi maserasi dan sonikasi menunjukkan pola kromatogram yang sedikit berbeda (Gambar 10 dan 12). Jika dilihat dari intensitas, pemisahan antarpita maupun jumlah pita yang dihasilkan, ekstraksi maserasi menghasilkan pola yang lebih baik. Namun, berdasarkan efisiensi waktu ekstraksi, ekstraksi sonikasi yang lebih singkat dapat menghasilkan pola kromatogram yang cukup baik. Oleh karena itu, maka ekstraksi yang baik memisahkan komponen seledri dalam waktu yang relatif singkat adalah ekstraksi sonikasi dibandingkan ekstraksi maserasi yang memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu 72 jam dalam proses isolasi komponen.

Validasi Metode

Uji Berbagai Daerah (Spesifitas)

Setelah teknik ekstraksi dan fase gerak baik jenis maupun nisbahnya telah dioptimumkan, maka kondisi kromatografi diaplikasikan terhadap seluruh sampel seledri dari lokasi yang berbeda. Hal tersebut bertujuan untuk verifikasi keautentikan, mutu, dan penegasan keberadaan apigenin dalam seledri baik bahan baku maupun produknya berdasarkan pita-pita yang terdapat pada pola sidik jari KLT (Gambar 13). Pita-pita yang terbentuk tersebut juga akan menunjukkan pola yang khas pada tiap lokasi asal seledri sedangkan keberadaan senyawa penciri apigenin akan menentukan mutu tanaman seledri secara kualitatif.








 









Gambar 13  Pola KLT sidik jari seledri dari     berbagai daerah dengan visualisasi UV 366 nm.

Hasil KLT pada Gambar 13 dapat terlihat jelas bahwa pola sidik jari seledri dari lokasi yang berbeda hampir sama berdasarkan jumlah, warna, dan posisi pita untuk setiap lokasi namun dengan intensitas berbeda. Semua sampel seledri dari berbagai daerah mengandung apigenin karena memiliki pita khas senyawa apigenin pada Rf 0.28. Secara visual, intensitas pita apigenin terendah  ditunjukkan pada sampel dari daerah Garut sedangkan intensitas tertinggi ditunjukkan dari daerah Semarang. Oleh karena itu, perbedaan daerah asal seledri dapat terbukti memengaruhi pola sidik jari KLT karena adanya perbedaan asal geografis, iklim, dan masa penyimpanan (Liang et al. 2004). Sampel seledri dari Semarang ini selanjutnya akan digunakan pada validasi metode yang lain untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.
Berdasarkan spesifitas, metode ini spesifik karena sampel seledri dari berbagai lokasi menunjukkan pola sidik jari yang serupa dan menunjukkan pita senyawa penciri apigenin (Reich & Schibli 2008).
Stabilitas Analat Selama Kromatografi

Hasil kromatografi dua dimensi pada Gambar 14 dapat terlihat bahwa spot komponen berada pada garis diagonal setelah proses elusi kedua. Selain itu, tidak ada spot yang berada di luar garis diagonal dan nilai Rf yang tidak berbeda jauh baik pada elusi pertama maupun elusi kedua (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil selama kromatografi.







 











Gambar 14  Stabilitas analat selama kromatografi dengan visualisasi UV 366 nm.                  
Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan

Uji stabilitas analat pada pelat dan dalam larutan menunjukkan bahwa analat stabil baik pada pelat maupun dalam larutan selama tiga jam karena tidak ada perbedaan intensitas pita setelah dibandingkan dengan sampel yang masih segar (Gambar 15). Selain itu, tidak ada perbedaan pita yang muncul atau tidak muncul pada setiap larutan yang diujikan serta perbedaan Rf pada masing-masing larutan tidak lebih dari 0.02 (Lampiran 10).

 








                             a    b   c    d   e

Gambar 15  Stabilitas analat (a) pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi, (b dan c) sampel segar diaplikasikan segera  sebelum kromatografi, (d) sampel disiapkan selama 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan), dan (e) standar apigenin dengan visualisasi UV 366 nm.

Stabilitas Visualisasi

Hasil uji stabilitas visualisasi ditunjukkan pada Gambar 16. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tidak ada penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan terhadap pola sidik jari KLT seledri selama pengamatan 1 jam. Selain itu, tidak ada pita yang muncul atau tidak muncul pada beberapa lama waktu pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil kurang dari 1 jam.  Oleh karena itu, metode untuk stabilitas visualisasi ini dapat diterima karena tidak ada perubahan pola sidik jari yang signifikan dalam waktu 1 jam.

 









Gambar 16  Stabilitas visualisasi pada UV 366     nm.
Keterulangan

Hasil uji keterulangan ditunjukkan pada Gambar 17. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat berbeda. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.02. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 11). Keterulangan sangat baik karena masing-masing pita pada setiap pelatnya relatif tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa metode untuk keterulangan sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.



 









(a)                         (b)                      (c)
Gambar 17  Keterulangan (a) pada pelat ke-1,                                     (b) pelat ke-2, dan (c) pelat ke-3                       dengan visualisasi UV 366 nm.

Presisi Menengah

Hasil uji presisi menengah ditunjukkan pada Gambar 18. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat dan tiga hari berbeda. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.02. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 12). Presisi menengah sangat baik karena masing-masing pita pada pelat setiap harinya relatif tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa metode untuk presisi menengah sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.

 








(a)                         (b)                   (c)

Gambar 18  Presisi menengah (a) pada hari ke-1, (b) hari ke-2, dan (c) hari ke-3 dengan visualisasi UV 366 nm.                
 
Ketangguhan


Hasil uji ketangguhan ditunjukkan pada Gambar 19. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita baik pada bilik kaca twin trough maupun  flat bottom. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.03. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bilik kaca yang berbeda tidak memengaruhi pola sidik jari KLT seledri. Oleh karena itu,  metode untuk ketangguhan sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.



        




(a)                                  (b)

Gambar 19  Pola KLT sidik jari seledri dengan bilik kaca twin trough (a) dan flat bottom  (b) dengan visualisasi UV 366 nm.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
       
Pelarut yang dapat menghasilkan profil pemisahan KLT komponen seledri dengan baik adalah kloroform : diklorometana dengan perbandingan 75:25 untuk pelat KLT silika gel. Teknik ekstraksi terbaik untuk mengisolasi komponen kimia pada seledri, yaitu ekstraksi sonikasi Kondisi optimum ekstraksi sonikasi adalah pada waktu ekstraksi 10 menit, bobot sampel 0.8726 g, dan volume pelarut 1.59 mL pada deteksi UV 366 nm. Semua kriteria validasi metode dapat diterima sehingga dapat digunakan untuk identifikasi seledri secara cepat dan terpercaya.
Saran

Perlu dicobakan variasi variabel lain yang dapat memengaruhi hasil ekstraksi sonikasi. Selain itu, perlu dilakukan validasi metode lain pada kondisi optimum yang diperoleh untuk meyakinkan mutu baik bahan baku maupun produk tanaman seledri.

DAFTAR PUSTAKA

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1. Jakarta: BPOM RI.

[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl.
Almeide AA, Scarminio IS. 2007. Statistical mixture design of optimization of extraction media and mobile phase compositions for the characterization of green tea. Journal Separation Science 30: 414-420.

Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Ed ke-1. Yogyakarta: Andi.

Anderson VL,  McLean RA. 1974. Design of Experiments. New York: Marcel Dekker.

Ashley K, Andrews RN, Cavazosa L, Demange M. 2001. Ultrasonic extraction as a sample preparation technique for elemental analysis by atomic spectrometry. Journal of Analytical Atomic Spectrometry 16:1147-1153.

Banik RM, Pandey DK. 2008. Optimizing conditions for oleanolic acid extraction from Lantana camara roots using response suRface methodology. Industrial Crops and Product 27: 241-248.

Birk CD, Provensi G, Gosmann G2005. TLC fingerprint of flavonoids and saponins from Passiflora species. Journal of Liquid Chromatography & Related Technologies 28: 2285–2291.


Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, Scarminio IS. 2007. Mixture design for the fingerprint optimization of chromatographic mobile phases and extraction  solutions for Camellia sinensis. Analytica Chimica Acta 595: 28-37.

Chen et al. 2006. High-peRformance thin-layer chromatographic fingerprints of isoflavonoids for distinguishing between Radix Puerariae lobate and Radix Puerariae thomsonii. Journal of Chromatography A 1121: 114–119.

Delaroza F, Scarminio IS. 2008. Mixture design optimization of extraction and mobile phase media for fingerprint analysis of Bauhinia variegate L. Journal Separation Science 31: 1034-1041.

Djumidi et al. 1998. Simplisia Nabati. Jilid 1. Jakarta: Depkes RI.

Durmus EB, Evranuz O. 2010. Response suRface methodology for protein extraction optimization of red pepper seed (Capsicum frutescens). Food Science and Technology 43: 226–231.

Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus amarus Schum. and Thonn. and Quassia amara L. using normal phase thin layer chromatography [tesis]. Lousiana: Program Pascasarjana, University of Suriname.

Fried B, Sherma M. 1982. Chromatographic Science Series 17, Thin Layer Chromatography. Cazes, Editor. New York: Marcel Dekker.

Hajnos et al. 2008. Thin Layer Chromatography in Phytochamistry. London: CRC Press.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah;
      Niksolihin S, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Method.

Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. A Saptorahardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Basic Concepts of Analytical Chemistry.

Koll K, Reich E, Blatter A. 2003. Validation of standardized high-peRformance thin-layer chromatographic methods for quality control and stability testing of herbals. Journal of AOAC International 86: 909-915.

Liang YZ, Xie P, Chen K. 2004. Quality control of herbal medicines. Journal of Chromatography B 812: 53–70.

Melecchi et al. 2006. Optimization of the sonication extraction method of Hibiscus tiliaceus L. flowers. Ultrasonics Sonochemistry 13: 242-250.

Meloan CE. 1999. Chemical Separation. New York: J Willey.

Montgomery DC. 2005. Design and Analysis of Experiments. Ed ke-5. New York: John Willey & sons.

Nyiredy S. 2002. Planar chromatographic method development using the prisma optimization system and flow charts. Journal of Chromatography Science  40: 1-10.

Reich E, Schibli A, 2008. Validation of high-peRformance thin layer chromatographic methods for the identification of botanicals in a cGMP environment. Journal of AOAC International 91: 13-19.

Smith WF. 2005. Experiment Design for Formulation. Pyladelphia: American Statistical and The Society for Industrial Applied Mathematics.

Soares PK, Scarminio IS. 2007. Multivariate chromatographic fingerprint preparation and authentication of plant material from the genus Bauhinia. Phytochemical Analysis19: 78–85.

Soedibyo M. 1998. Alam Sumber Kesehatan. Manfaat dan Kegunaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Susiarti S. 2000. Seledri (Apium graveolens L) dari Mengolah Lahan Tidur menuju Agibisnis Sayuran. Seri Pengembangan Proses 8.1. Jakarta: Prosea Indonesia.

Tripathi et al. 2006. Quantitative determination of phyllanthin and hypophyllanthin in phyllanthus species by high peRformance thin layer chromatography. Phytochemical Analysis17: 394-397.

Vermaak I, Hamman JH, Viljoen AM. 2009. High peRformance thin layer chromatography as a method to authenticate Hoodia gordonii raw material and products. South African Journal of Botany: 6-11.

Wall PE. 2005. Thin Layer Chromatography: A Modern Practical Approach. Dorset: VWR International Ltd.

Zhang X, Wang R, Yang X, Yu J. 2007. Central composite experiment design applied to the catalytic aromatization of isophorone to 3,5-xylenol. Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems 89: 45–50.