Jumat, 19 Agustus 2011

POLYLACTIC ACID (PLA)

Nama   : Soko Andhika P.
NRP    : G44062256
 
Polylactic acid (PLA) atau poli asam laktat merupakan salah satu jenis poliester alifatik, yang diperoleh dari asam laktat dari sumber yang terbarukan seperti gula, pati-patian, selulosa dan gliserin sisa biodiesel. Jenis polimer ini mempunyai potensi untuk dapat berkembang pada saat ini. Sifat mekanik, barier, fisik, dan kimia mempunyai kombinasi cocok untuk digunakan sebagai bahan sekali pakai atau sebagai pengemas makanan. PLA diharapkan dapat menggantikan plastik konvensional karena mempunyai emisi gas CO2 lebih rendah sehingga mengurangi pemanasan global. PLA sering dicampur dengan pati-patian untuk menambah sifat biodegradable dan menurunkan harga. Namun campuran ini menjadi mudah pecah, untuk itu ditambahkan plastisiser seperti gliserin, atau sorbitol agar lebih lentur. Selain itu dapat pula dilakukan pencampuran dengan poliester degradable untuk menggantikan plastisiser.

Poli asam laktat merupakan suatu polimer dari asam laktat. Asam laktat atau asam 2-hydroksipropanoat, juga dikenal dengan asam susu, merupakan bahan kimia yang diperoleh dari proses kimia. Bahan ini ditemukan oleh Carl Wilhem Scheele, tahun 1780, merupakan asam karboksilat dengan formula kimia C3H6O3, mempunyai hidroksil dekat dengan gugus karboksil membentuk Alfa Asam Hidroksi. Jika asam laktat ini dilarutkan dalam larutan air, material ini dapat kehilangan proton dari gugus asam menjadi ion laktat CH3CH(OH)COO-, larut dalam air atau etanol dan bersifat higroskopis.








 





Rumus struktur asam laktat
Dalam skala industri, fermentasi asam laktat diperoleh diantaranya dengan bantuan bakteri lactobacillus sp. Bakteri ini ada dalam mulut manusia, dimana asam yang terbentuk menyebabkan gigi rusak atau dikenal dengan karies. Asam laktat dapat diperoleh dari laktosa atau gula susu dengan bantuan Bacillus acidilact. Karbohidrat non susu seperti jagung, kentang dan molasses dapat dirubah menjadi asam laktat dengan fermentasi mempergunakan Lactobacillus delbueckii atau Lactobacillus bulgaricus. Dua molekul asam laktat dapat di-dehidrasi menjadi laktida merupakan siklis lakton.

Selain dengan menggunakan asam laktat, Poli asam laktat ini juga dapat dibentuk melalui pembentukan laktida (dimer asam laktat) terlebih dahulu, dan diikuti dengan polimerisasi menjadi PLA. Pada polimerisasi PLA dengan asam laktat (secara langsung), asam laktat mengalami polikondensasi menjadi laktida dan selanjutnya dengan katalis terjadi dimerisasi untuk membentuk monomer laktida siklis. Air yang terbentuk harus dipisahkan sebelum dilakukan polomerisasi. PLA dengan berat molekul tinggi dilakukan dengan pembukaan cincin dari laktida menggunakan katalis umumnya SN-oktoat. Untuk skala laboratorium dipergunakan katalis Sn-Cl2, dengan kelebihan tidak memproduksi tambahan air dan diperoleh berbagai berat molekul yang mempermudah penelitian. Reaksi langsung polimerisas kondensasi poli asam laktat adalah sebagai berikut :


 


+ n H2O



Sedangkan polimerisasi PLA melalui pembentukan laktida secara umum dibagi dalam beberapa tahap, yaitu fermentasi bahan baku membentuk asam laktat, dimerisasi asam laktat membentuk laktida dan langkah terakhir berupa polimerisasi laktida membentuk PLA. Dalam proses tersebut ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu preparasi media fermentasi menggunakan materi organik, fermentasi asam laktat dan pemisahan asam laktat

Media fermentasi dipreparasi menggunakan biomassa yang mengandung sekitar 40-50 %, Media fermentasi diinokulasi dengan bakteri asam laktat pada kondisi anaerobik. Bakteri yang digunakan biasanya berasal di genus laktobacillus. Bakteri yang digunakan biasanya Laktobacillus delbruechi. pH dari media fermentasi di jaga. pH nya 5.0-6,0 menggunakan larutan karbamat atau amonia dan temperaturnya pada 370 K hingga 450 K. Fermentasi dilakukan selama 24-48 jam. Hasil fermentasi selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut organik seperti isoamil alkohol, butanol, sikloheksanon dan metil asetat pada rasio 1:1 hingga 1:5. Ekstrak diambil untuk proses lebih lanjut. Asam laktat yang terkandung dalam ekstra dikontakkan dengan larutan basa seperti amonia atau kaustik soda pada rasio 1:3 hingga 1:10. Penambahan basa ini bertujuan untuk membentuk garam laktat. Garam laktat bersifat polar sehingga mudah dipisahkan dari pengotor yang terdapat pada pelarut organik yang bersifat nonpolar.

Fase aquos mengandung garam asam laktat kemudian direaksikan dengan asam mineral encer. Garam laktat akan terprotonasi kembali dengan adanya asam encer. Proses tersebut menghasilkan asam laktat kembali. Asam laktat bersifat nonpolar dan segera terpisah dari larutan air. Pemisahan kedua fase yang berbeda dapat dilakukan dengan corong pisah. Asam laktat tersebut dilewatkan pada resin kationik untuk menghilangkan ion metal yang mungkin masih ada. Asam laktat yang kemudian dikonversi menjadi laktida pada reaktor dengan penyaluran tekanan dan suhu. Reaksi yang terjadi sebenarnya adalah reaksi esterifikasi. Asam laktat memiliki gugus hidroksil dan karboksil. Kedua gugus ini yang dimanfaatkan dalam pembentukan laktida, Proses selanjutnya adalah polimerisasi laktida membentuk PLA. Polimerisasi dilakukan secara kondensasi dengan pembukaan cincin laktida.
Kelebihan dari PLA ini adalah PLA dapat terdegradasi dengan cara terkompos pada kondisi pembuangan sampah (sanitary land fill) pada suhu 60 - 70 °C atau lebih. Pada tahap pertama PLA terdegradasi melalui proses hidrolisis selama 2 minggu sehingga menjadi komponen terlarut dalam air. Pada tahap kedua dengan bantuan mikroba, terjadi metabolism secara cepat atau pengomposan, menjadi gas CO2, air dan biomassa. Proses biodegradasi akan lebih cepat terjadi diatas suhu gelas transisi PLA 60 - 70 °C, dimana pada suhu tersebut plastik melunak dan memudahkan berinteraksi dengan sekelilingnya. Proses pengomposan sampah organic dengan bantuan mikroba termifilik, biasanya berlangsung pada suhu 70 °C.
Pada umumnya PLA dipergunakan untuk menggantikan bahan yang transparan dengan densitas dan harga tinggi. Bahan plastik yang digantikan dari jenis PET (1.4 g/cc), PVC lentur (1.3 g/cc) dan selofan film. Dibanding PP (0.9 g/cc,) dan HIPS (1.05 g/cc), PLA dapat dikatakan kurang menguntungkan, namun mempunyai kelebihan lain yaitu ramah lingkungan. PP dan HIPS berasal dari minyak bumi dan jika dibakar akan menimbulkan efek pemanasan global.
Kekurangan dari PLA adalah densitas lebih tinggi (1.25 g/cc) disbanding PP dan PS dan mempunyai polaritas yang lebih tinggi sehingga sulit direkatkan dengan PE dan PP yang non polar dalam system film multi lapis. PP mempunyai densitas 0.9 g/cc dan HIPS mempunyai densitas 1.05 g/cc. PLA jugamempunyai ketahanan panas, moisture dan gas barier kurang bagus disbanding PET.

PERANAN UNSUR KLOR DAN SENYAWANYA PADA TUBUH MANUSIA


Pada ilmu kimia anorganik telah dikenal lebih dari seratus unsur (ion). Tetapi dari hasil penelitian, hanya beberapa ion saja yang ada hubungannya dengan metabolisme tubuh.
Ion-ion yang terdapat dalam tubuh dibagi atas dua golongan. Golongan pertama disebut dengan "mayor phisiological ions", yaitu ion-ion yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang banyak. Termasuk ke dalam golongan ini adalah ion-ion khlorida, fosfat, karbonat, K, Na, Ca dan Mg. Golongan kedua disebut dengan "trace ions", yaitu ion-ion yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang sedikit. Termasuk ke dalam golongan ini adalah ion-ion Fe, In, Yodium, Cu, Co, Mn, Cr, Se, F dan sulfat. Ion-ion yang termasuk dua golongan inilah yang "esensial" bagi tubuh Disebut demikian karena ion-ion inilah yang dijumpai mempunyai fungsi metabolic yang jelas di dalam tubuh.
Selain itu ada lagi beberapa ion yang termasuk trace ions yang terdapat dalam tubuh tetapi tidak esensiel bagi tubuh. Ini disebabkan fungsi metaboliknya tidak jelas dan terdapatnya di dalam tubuh pun dalam keadaan isidentil. Termasuk di dalam ini antara lain ion-ion Cd, Li, Ni, V, Ag, Au, Al, As, Sr, Pb, Rb, Si, Ti dan B.
Berdasarkan kebutuhannya di dalam tubuh, mineral dapat digolongkan menjadi 2 kelompok utama yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang menyusun hampir 1% dari total berat badan manusia dan dibutuhkan dengan jumlah lebih dari 1000 mg/hari, sedangkan mineral mikro (Trace) merupakan mineral yang dibutuhkan dengan jumlah kurang dari 100 mg /hari dan menyusun lebih kurang dari 0.01% dari total berat badan. Mineral yang termasuk di dalam kategori mineral makro utama adalah kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), sulfur (S), kalium (K), klorida (Cl), dan natrium (Na). Sedangkan mineral mikro terdiri dari kromium (Cr), tembaga (Cu), fluoride (F), yodium (I) , besi (Fe), mangan (Mn), silisium (Si) dan seng (Zn). Dalam komposisi air keringat, tiga mineral utama yaitu natrium, kalium & klorida merupakan mineral dengan konsentrasi terbesar yang terdapat di dalamnya.
Natrium dan klorida merupakan mineral dengan konsentrasi tertinggi yang terbawa keluar tubuh melalui kelenjar keringat (sweat glands). Kontrol kualitas dilakukan dengan menganalisis kadar klorida dalam sampel yang mengandung klorida. Konsentrasi klorida darah biasanya sejalan dengan konsentrasi natrium darah dan bikarbonat terlibat pada gangguan keseimbangan asam basa.
Klor (berasal dari bahasa Yunani Chloros, yang berarti “hijau pucat”), adalah unsur kimia dengan nomor atom 17 dan simbol Cl. Termasuk dalam golongan halogen. Sebagai ion klorida , yang merupakan garam dan senyawa lain, secara normal ia banyak dan sangat diperlukan dalam banyak bentuk kehidupan, termasuk manusia. Dalam wujud gas, klor berwarna kuning kehijauan, baunya sangat menyesakkan dan sangat beracun. Dalam bentuk cair dan padat, merupakan agen pengoksidasi, pelunturan yang sangat efektif.
Ciri-ciri utama unsur klor merupakan unsur murni, mempunyai keadaan fisik berbentuk gas berwarna kuning kehijauan, Cl2. Klor adalah gas kuning kehijauan yang dapat bergabung dengan hampir seluruh unsur lain karena merupakan unsur bukan logam yang sangat elektronegatif. Klor memiliki beberapa bilangan oksidasi, yaitu -1, 0, +1, +3, +5, +7. Pada 10°C, satu liter air dapat melarutkan 3.10 liter klor dan pada 30°C hanya 1.77 liter. Digunakan (dalam bentuk asam hipoklorit) untuk membunuh bakteri dan mikroba-mikroba.
Semula, klor hanya dijumpai dalam bentuk ion klorida. Klorida membentuk kebanyakan garam zat terlarut dalam lautan kira-kira 1.9% air laut adalah ion klorida. Larutan klorida dengan kepekatan lebih tinggi dijumpai di Laut Mati dan air garam bawah tanah.
Kebanyakan klorida larut dalam air, oleh karena itu klorida padat biasanya hanya ditemui di kawasan beriklim kering, atau bawah tanah. Mineral klorida biasa termasukl halit (natrium klorida), sylvite (kalium klorida), dan karnalit (kalium magnesium klorida heksahidrat). Klorida adalah salah satu ion yang penting bagi tubuh karena merupakan anion yang paling berperan dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit.
Klor digunakan tubuh kita untuk membentuk HCl atau asam klorida pada lambung. HCl memiliki kegunaan membunuh kuman bibit penyakit dalam lambung dan juga mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Klor juga dapat membahayakan sistem pernafasan terutama bagi anak-anak dan orang dewasa. Dalam wujud gas, klor merusak membran mukus dan dalam wujud cair dapat menghancurkan kulit.
Tingkat klorida sering naik turun bersama dengan tingkat natrium. Ini karena natrium klorida, atau garam, adalah bagian utama dalam darah. Keseimbangan asam-basa dalam serum darah harus terjaga agar setiap organ tubuh bisa menjalankan tugasnya. Jika derajat keasaman (pH) tidak seimbang, misalnya terlalu asam atau terlalu basa, mineral tertentu akan mudah mengendap. Ini bisa mengakibatkan pembentukan batu ginjal, endapan asam urat pada persendian, dan lain-lain.Darah mengandung 0,9 persen NaCI. Manusia memerlukan sekitar 200-500 mg natrium setiap hari untuk menjaga kadar garam dalam darah agar tetap normal, sehingga tubuh tetap sehat. Natrium juga penting untuk fungsi otot dan syaraf.
Klorida adalah salah satu ion yang penting bagi tubuh karena merupakan anion yang paling berperan dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit. Klor dalam tubuh digunakan untuk membentuk Asam Klorida (HCl) untuk membunuh bakteri dan kuman yang masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Darah mengandung 0,9 persen Natrium Klorida. Kekurangan ion Natrium Klorida mengakibatkan gangguan kesehatan. Kelebihan garam Natrium Klorida juga dapat berakibat buruk bagi kesehatan. Manusia memerlukan sekitar 200-500 mg natrium setiap hari untuk menjaga kadar garam dalam darah agar tetap normal.

Selasa, 01 Februari 2011

Buah Buahan

Buah-buahan merupakan bagian tanaman hasil penyerbukan antara putik dan benang sari. Umumnya buah-buahan dikonsumsi setelah makanan utama sebagai pencuci mulut. Pemilihan buah-buahan sebagai pelengkap nutrisi bahan pangan biasanya berdasarkan pada sifat fisiknya terlebih dahulu yang dinilai secara subjektif, misal tingkat kematangan (ripening).
Perubahan buah selama proses pemasakan (ripening) antara lain pengempukan, pembentukan flavor yang bagus, perubahan padatan terlarut, dan pengurangan warna hijau serta pembentukan warna kuning-oranye (pigmen karotenoid) atau menjadi merah-biru (pigmen antosianin).

Sifat Fisika dan Kimia Buah

Pemilihan buah segar didasarkan pada sifat fisika dan kimia bahan pangan tersebut . Sifat-sifat fisika yang secara jelas dapat dinilai secara subjektif dalam pemilihan buah dan sayuran segar adalah warna, aroma, rasa, bentuk, dan ukuran. Penilaian secara objektif digunakan dalam pengukuran berat.
Menurut Nazaruddin dan Muchlisah (1996), suatu jenis buah disebut unggul apabila memiliki ciri-ciri: (1) Produktivitas buah per pohon dalam suatu musim panen lebih besar daripada buah sejenis, (2) Tanaman sudah mampu berproduksi pada umur relatif muda, (3) Tahan terhadap hama dan penyakit, (4) Kelezatan rasa dan aroma buah, dan (5) Keseragaman bentuk, ukuran, dan warna buah.
Sortasi/ pemilihan bertujuan untuk memilih buah yang baik, tidak cacat, dan layak ekspor. Juga bertujuan untuk membersihkan buah-buah dari berbagai bahan yang tidak berguna seperti tangkai, ranting dan kotoran. Bahan-bahan tersebut dipotong dengan pisau, sabit, gunting pangkas tajam tidak berkarat sehinga tidak menimbulkan kerusakan pada buah .
Grading/ penggolongan bertujuan untuk:
a. mendapat hasil buah yang seragam (ukuran dan kualitas)
b. mempermudah penyusunan dalam wadah/peti/alat kemas
c. mendapatkan harga yang lebih tinggi
d. merangsang minat untuk membeli
e. agar perhitungannya lebih mudah
f. untuk menaksir pendapatan sementara.
Warna sayuran dan buah yang mencerminkan mutu baik adalah berwarna cerah. Tingkat kematangan dapat mempengaruhi warna buah. Buah yang belum matang, klorofilnya menutupi pigmen kuning (karotenoid). Kulit buah yang segar tidak memiliki warna kusam. Buah yang baik memiliki aroma dan rasa yang segar. Bentuk buah yang mencerminkan buah segar adalah bentuk yang normal dan tidak mengalami kerusakan akibat penyimpanan, suhu, mikrobiologi, dan sebagainya. Buah segar kebanyakan bersifat mudah rusak, sehingga dalam penyimpanan harus disesuaikan dengan sifat masing-masing bahan pangan.
Sifat kimia buah-buahan tergantung pada tingkat kematangan buah. Kandungan berupa air, karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin dapat ditentukan komposisinya secara objektif kuantitatif. Buah-buahan mengandung sedikit protein dan tidak jarang bebas mengandung lemak, kecuali alpukat dan zaitun. Buah-buahan merupakan sumber vitamin, mineral, dan karbohidrat berupa pati (Krause 1961).
Penentuan kadar makrogizi pada buah-buahan dapat ditentukan secara analisis kuantitatif. Penentuan kadar karbohidrat dapat dilakukan secara titrimetri dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Penentuan kadar protein dapat dilakukan secara titrimetri dengan cara Kjeldahl. Penetuan kadar lemak dari buah-buahan karena bernilai kecil maka dapat dilakukan dengan memisahkan jenis-jenis asam lemaknya dengan Gas Chromatography.
Penentuan derajat keasaman buah-buahan dapat dilakukan pengukuran dengan alat pH-meter maupun secara konvensional dengan kertas pH universal. Derajat keasaman mempengaruhi rasa pada buah, namun tidak berarti menentukan mutu buah yang baik.
Persiapan yang hati-hati, penyimpanan, dan perlakuan yang baik dapat mempertahankan nilai-nilai gizi yang terkandung dalam buah. Buah yang matang dan segar dapat dengan mudah dicerna, kandungan gula seperti glukosa dan fruktosa dapat dengan mudah di absorpsi oleh saluran pencernaan (Krause 1961).
Sayuran merupakan tanaman yang dapat dikonsumsi bagian daun, polong, batang, bunga, buah, maupun umbinya.

Buah-buahan terdiri atas kulit, daging buah, dan biji. Bagian-bagian pada sayur dan buah tidak semua dapat dikonsumsi, sehingga dapat dipisahkan antara bagian yang dapat dikonsumsi dan bagian yang tidak dapat dikonsumsi.

Pengawetan Buah dan Sayur

Setelah buah dan sayur dipanen, produk hasil pertanian tetap melakukan kegiatan fisiologis. Aktifitas fisiologis dapat menyebabkan produk hasil pertanian mengalami perubahan terus menerus namun dapat diminimalisasi. Setelah panen, tahap akhirnya adalah pelayuan dan pembusukan.
Faktor-faktor biologis yang dapat dihambat untuk meminimalisasi proses pelayuan adalah respirasi, transpirasi, faktor anatomi, dan produksi etilena. Komoditi dengan laju respirasi yang tinggi cenderung mudah rusak. Transpirasi merupakan pengeluaran air dari jaringan produk nabati. Transpirasi yang berlebihan dapat menyebabkan pelayuan, pengurangan berat, serta pengurangan nilai gizi. Pengurangan laju respirasi dan transpirasi dapat dilakukan dengan teknik pelapisan (coating), penyimpanan pada suhu rendah, dan memodifikasi atmosfer ruang penyimpanan (Controlled Atmosfer Storage).
Etilena merupakan senyawa organik sederhana yang memegang peran dalam pertumbuhan, perkembangan, dan pelayuan. Etilena merupakan penyebab terjadinya proses pelayuan. Oleh karena itu untuk menghambatnya, etilena dapat dioksidasikan dengan KMnO4 ¬atau ozon. Pereaksi KMnO4 dapat menyerap gas etilena yang dikeluarkan oleh produk nabati.
Metode pengawetan merupakan usaha memperlambat pematangan buah dan sayur dengan cara memperlambat proses respirasi dan transpirasi serta menangkap gas etilena yang terbentuk. Beberapa cara untuk mengawetkan buah dan sayur adalah dengan cara pendinginan, pembungkusan dengan polietilena (PE), dan penambahan bahan kimia tertentu.
Penyimpanan buah dan sayur memerlukan temperatur optimum untuk mempertahankan mutu dan kesegaran. Pendinginan di bawah temperatur 15˚C dan di atas titik beku disebut chilling storage. Namun, pendinginan dapat menyebabkan kerusakan pada buah pisang, yaitu warna menjadi kusam, tidak bisa masak, dan perubahan cita rasa. Kondisi optimum buah pisang yaitu 11-20˚C.
Pengemasan dengan pembungkus polietilena (PE) dapat memperlambat proses pemasakan. Pengawetan buah dengan penambahan bahan aditif tertentu dapat dengan beberapa cara di antaranya, penambahan gula, penambahan bahan pengawet, penambahan antioksidan, dan sebagainya.
Pengawetan buah dilakukan dengan menambahkan sejumlah gula dan memasaknya, merupakan metode pengawetan yang paling umum dilakukan. Beberapa macam jenis pengawetan dengan pembuatan manisan antara lain (Anonim 2007):
1. Golongan I, manisan basah dengan larutan gula encer. Buah yang biasa digunakan dalam manisan ini antara lain jambu, kedondong, salak, dan mangga
2. Golongan II, manisan larutan gula kental yang menempel pada buah. Buah yang biasa digunakan dalam manisan ini antara lain pala, ceremai, dan lobi-lobi.
3. Golongan III, manisan kering dengan gula pasir utuh (gula tidak larut dan menempel pada buah). Buah yang biasa digunakan dalam manisan ini antara lain mangga dan kedondong
4. Golongan IV, manisan kering asin karena unsur yang dominan dalam bahan adalah garam. Buah yang biasa digunakan dalam manisan ini antara lain jambu biji, mangga, dan belimbing.
Gula yang ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (minimal 40% padatan terlarut) sebagian dari air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme. Produk-produk pangan berkadar gula tinggi cenderung rusak oleh khamir dan kapang, yaitu kelompok mikroorganisme yang cenderung mudah rusak oleh panas (seperti dalam pasteurisasi).
Proses perendaman buah dalam larutan gula dibagi dalam 2 cara, yaitu cara lambat dan cepat. Perendaman lambat, perlakuan perendaman dalam larutan gula memerlukan waktu lama ± 24 jam hingga 3 minggu untuk konsentrasi gula 30% hingga dicapai 70%. Perendaman cepat dilakukan hanya sekitar 3-4 jam hingga diperoleh kadar gula 68-70%. Konsentrasi gula 70% merupakan konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Anonim 2007).
Pengawetan dengan penambahan zat antimikroba, berguna untuk menghambat pertumbuhan jasad renik. Pengawetan dengan penambahan zat anti oksidan alami dapat melindungi buah, dengan cara mereduksi radikal-radikal bebas.
Tingkat keawetan buah dapat dipertahankan dengan cara merendam buah pada air dengan temperatur 80-95°C selama 3-5 menit yang biasa disebut proses blanching. Perlakuan ini bertujuan menonaktifkan enzim dan bakteri yang hidup dalam buah.
Tekstur ketegaran buah dapat dilakukan dengan merendamnya dala larutan garam kalsium klorida. Garam kalsium klorida (CaCl2) merupakan elektrolit kuat yang mudah larut dalam air. Selain CaCl2 yang biasa digunakan untuk mengawetkan buah agar tetap bertekstur keras adalah CaCO3, Ca-laktat, Ca-sitrat dan Ca-hidroksida. Ion kalsium bereaksi dengan asam amino sehingga menghambat reaksi pencoklatan, sehingga dapat mencegah browning enzimatik dan memperkuat tekstur buah.
Terdapat dua macam enzim pemecah pektin yang terdapat pada jaringan buah yang telah masak, yaitu esterase dan poligalakturonase, yang aktivitasnya meningkat selama proses pematangan buah.
Proses pengolahan, pemanasan atau pembekuan dapat melunakkan jaringan sel tanaman tersebut, ion kalsium akan berikatan dengan pektin membentuk Ca-paktinat yang bersifat tidak larut dalam air dan menghasilkan tekstur yang keras. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya ikatan menyilang antara ion kalsium divalen dengan polimer senyawa pektin yang bermuatan negatif yaitu pada gugus karboksil asam galakturonat dalam jumlah yang besar sehingga jaringan molekul melebar. Adanya jaringan tersebut akan mempengaruhi daya larut senyawa pektin dan akan semakin kokoh dari pengaruh mekanis (Anonim 2007).

Pengamatan Organoleptik

Analisis organoleptik merupakan multidisiplin ilmu yang menggunakan beberapa panelis berdasarkan kemampuan inderawi dalam melihat, mencium aroma, merasakan, menyentuh dan mendengar untuk mengukur karakteristik sampel makanan. Tidak ada satu jenis alat maupun instrumen yang dapat menggantikan respon manusia. Identifikasi dengan analisis organoleptik pada karakteristik sampel dapat diterapkan untuk berbagai macam penentuan seperti pada pengembangan produk, improvisasi produk, pengawasan mutu, dan pengembangan metode. Para panelis harus diperlakukan sebagai instrumen alami agar dihasilkan hasil yang sesuai. Uji organoleptik dilakukan dalam kondisi yang terkontrol, cocok dengan metode pengujian, dan analisis statistik sehingga dapat dihasilkan data yang konsisten dan dengan keterulangan yang baik (Watts 1989).
Panelis mengidentifikasi perbedaan di antara jenis makanan yang diujikan untuk mengukur intensitas warna dan rasa, tekstur atau penampakan, dan sebagainya. Sampel yang dipresentasikan harus dalam keadaan dan temperatur yang sama, yaitu temperatur yang biasa digunakan untuk mengkonsumsi produk makanan.
Proses mengidentifikasi makanan harus dibandingkan dengan pembanding (reference) sebagai standar penilaian. Pembanding yang digunakan adalah produk makanan yang sejenis dengan sampel yang diujikan. Data sensorik ditampilkan dalam bentuk frekuensi, tingkatan, maupun data numerik kuantitatif. Skala pengukuran digunakan untuk mengkuantifikasi informasi sensorik. Skala dapat diklasifikasi berdasarkan tipe data nominal, ordinal, interval dan skala ratio (Watts 1989).
Skala nominal merupakan skala yang paling umum digunakan dan paling sederhana. Tipe penilaian menggunakan angka-angka yang menginterpretasikan hasil, angka 1= sangat suka, 2= suka, 3= agak suka, dan 4= tidak suka.
Skala ordinal menggunakan angka-angka yang menandakan urutan atau rangking. Urutan tidak mengindikasikan suatu nilai ukuran perbedaan diantara beberapa sampel. Urutan dimaksudkan pada tingkat penerimaan panelis terhadap sampel yang diujikan.
Skala interval digunakan untuk mengurutkan sampel berdasarkan besarnya jarak kecenderungan kesukaan dari suatu sampel tunggal. Skala rasio hampir sama dengan skala interval. Nilai nol pada skala interval dapat berubah-ubah dan tidak mengindikasikan keberadaan karakter sampel yang diukur, sedangkan pada skala rasio sebaliknya.
Hasil analisis organoleptik kemudian disusun secara statistik agar diperoleh suatu kesimpulan mengenai bagaimana penerimaan sampel makanan disuatu populasi/ grup. Uji statistik dilakukan untuk data skalar (hanya memiliki angka tetapi tidak mempunyai arah).

sekilas tentang teh dan coklat


skrng gw bakal ngulas sedikit tntang teh dan coklat,,d ambil dr beberapa sumber,, smoga berguna
TEH
Teh merupakan salah satu minuman penyegar yang dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dari tanaman Camellia sinensis dengan air panas. Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Teh bila diminum terasa sedikit pahit yang merupakan kenikmatan tersendiri dari teh.

Daun mengandung kafein (2 - 3%), theobromin, theofilin, tanin, xan-thine, adenine minyak asiri, kuersetin, naringenin, dan natural fluoride. Tanin mengandung zat epigallocatechin galat, yang mampu mencegah kanker lambung dan kerongkongan. Setiap 100 g daun teh mempunyai kalori 17 kJ dan mengandung 75 - 80% air, polifenol 25%, protein 20%, karbohidrall, 4%, kafein 2,5 - 4,5%, serat 27%, dan pektin 6%. Biji mengandung saponin yang beracun dan mengandung minyak. Kafein mempercepat pernapasan, perangsang kuat pada susunan saraf pusat dan aktivitas jantung. Theofilin efek diuretik kuat, menstirnulir kerja jantung dan melebarkan pembuluh darah koroner. Theobromin terutama mempengaruhi otot.
COKLAT
Kata coklat berasal dari xocoatl (bahasa suku Aztec) yang berarti minuman pahit. Suku Aztec dan Maya di Mexico percaya bahwa Dewa Pertanian telah mengirimkan coklat yang berasal dari surga kepada mereka. Cortes kemudian membawanya ke Spanyol antara tahun 1502-1528, dan oleh orang-orang Spanyol minuman pahit tersebut dicampur gula sehingga rasanya lebih enak. Coklat kemudian menyebar ke Perancis, Belanda dan Inggris (Nurcahyo 2008).

Rasa asli biji coklat sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai makanan yang disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%. Protein coklat kaya akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tyrosin. Meski coklat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik karena coklat juga mengandung polifenol (6%) yang berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan. Di Amerika Serikat konsumsi coklat hanya memberikan kontribusi 1% terhadap intake lemak total sebagaimana dinyatakan oleh National Food Consumption Survey (1987-1998). Jumlah ini relatif sedikit khususnya bila dibandingkan dengan kontribusi daging (30%), serealia (22%), dan susu (20%). Lemak pada coklat, sering disebut cocoa butter, sebagian besar tersusun dari lemak jenuh (60%) khususnya stearat. Tetapi lemak coklat adalah lemak nabati yang sama sekali tidak mengandung kolesterol (Shofi 1999).
Katekin adalah antioksidan kuat yang terkandung dalam coklat. Salah satu fungsi antioksidan adalah mencegah penuaan dini yang bisa terjadi karena polusi ataupun radiasi. Katekin juga dijumpai pada teh meski jumlahnya tidak setinggi pada coklat. Orang tua jaman dahulu sering mempraktekkan cuci muka dengan air teh karena dapat membuat kulit muka bercahaya dan awet muda. Seandainya mereka tahu bahwa coklat mengandung katekin lebih tinggi daripada teh, mungkin mereka akan menganjurkan mandi lulur dengan coklat. Coklat juga mengandung theobromine dan kafein. Kedua substansi ini telah dikenal memberikan efek terjaga bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu ketika kita terkantuk-kantuk di bandara atau menunggu antrian panjang, makan coklat cukup manjur untuk membuat kita bergairah kembali (Khomsan 2009).
Produk coklat cukup beraneka ragam. Misalnya, ada coklat susu yang merupakan adonan coklat manis, cocoa butter, gula dan susu. Selain itu ada pula coklat pahit yang merupakan coklat alami dan mengandung 43% padatan coklat. Coklat jenis ini bisa ditemukan pada beberapa produk coklat batangan. Terdapat juga coklat bubuk yang dikonsumsi dengan cara diseduh dan ditambahkan gula atau susu sebagai pemanis (Nurcahyo 2008).


Sabtu, 08 Januari 2011

PENGOPTIMUMAN EKSTRAKSI DAN FASE GERAK KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS UNTUK PEMISAHAN KOMPONEN SELEDRI

PENGOPTIMUMAN EKSTRAKSI DAN FASE GERAK KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS UNTUK PEMISAHAN KOMPONEN SELEDRI
RATU LINA AYU WIANDANIE
Tanaman obat dan produk turunannya secara luas telah digunakan di berbagai negara. Terdapat banyak sekali komponen kimia di dalam satu jenis tanaman. Kuantitas dan mutu komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat bergantung pada waktu pemanenan, tanaman asal, proses pengeringan, perbedaan asal geografis, iklim, dan faktor-faktor lainnya (Liang et al. 2004). Banyaknya komponen kimia yang terdapat pada tanaman obat memungkinkan sulitnya untuk menjamin keamanan, kendali mutu, dan konsistensi produknya dibandingkan dengan obat sintetis (Reich & Schibli 2008). Dalam kendali mutu dan uji stabilitas produk tanaman obat, analisis kromatografi sidik jari merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan komponen-komponen kimia yang terdapat pada produk tersebut. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan pemrofilan keseluruhan komponen karena dapat memrepresentasikan keragaman komponen yang ada dalam tanaman obat tanpa memerhatikan jenisnya. Beberapa teknik kromatografi seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas, elektroforesis kapiler, dan kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk analisis sidik jari tersebut (Liang et al. 2004).
Seledri (Apium graveolens) merupakan salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Depkes 1998). Seledri secara luas digunakan sebagai obat asam urat, peluruh keringat, penurun demam, rematik, sukar tidur, dan penurun tekanan darah. Kandungan seledri yang telah diidentifikasi diantaranya flavonoid seperti apigenin, apiin, dan apiol. Selain itu, seledri juga mengandung manitol, inositol, asparigina, glutamina, kolina, dan linamarosa (Soedibyo 1998). Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 (BPOM 2004         ), apigenin  ditetapkan sebagai senyawa penciri pada seledri untuk evaluasi mutu bahan baku maupun ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat herbal komersial. Banyaknya komponen kimia serta perbedaan asal seledri yang memungkinkan perbedaan kandungan komponen kimia tersebut mendorong untuk dilakukan suatu pemisahan komponen menggunakan analisis sidik jari dengan KLT.
Metode KLT merupakan metode kualitatif yang dapat digunakan untuk kendali mutu tanaman obat. Analisis sidik jari menggunakan KLT telah banyak digunakan pada industri obat di Amerika, Eropa, dan Cina. Keuntungan penggunaan KLT pada analisis sidik jari, yaitu sederhana, selektif dan sensitif, cepat, biaya yang relatif murah, dapat mengujikan sampel yang banyak dalam waktu bersamaan, kromatogramnya dapat dilihat secara visual, dan volume pelarut yang digunakan sedikit (Liang et al. 2004). Hasil analisis sidik jari tersebut akan bergantung pada derajat pemisahan kromatografi dan sebaran komponen kimia pada tanaman obat. Pengoptimuman fase gerak pada KLT dan kondisi ekstraksi merupakan salah satu cara mendapatkan pemisahan komponen yang baik dan sebagai langkah awal analisis sidik jari. Kondisi ekstraksi perlu dioptimumkan terlebih dahulu untuk mengisolasi komponen kimia dari tanaman dengan jumlah yang maksimum, kemudian dianalisis dengan KLT menggunakan fase gerak yang telah dioptimumkan menggunakan rancangan campuran dan respon permukaan.
Metode ekstraksi yang ditetapkan oleh BPOM sebagai standar mutu ekstrak tanaman obat dengan menggunakan metode maserasi selama 72 jam tidak efisien dalam waktu ekstraksi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode ekstraksi lain yang bertujuan menjadikan proses ekstraksi lebih efisien dan mempersingkat waktu ekstraksi, salah satunya adalah ekstraksi sonikasi yang memanfaatkan gelombang ultrasonik (Melecchi et al. 2006). Pengaruh perbedaan metode ekstraksi antara maserasi dan sonikasi pada penelitian ini kemudian dibandingkan dengan melihat pola kromatogramnya pada KLT. Ekstraksi yang menghasilkan pemisahan terbaik lalu diujikan pada seledri dari berbagai daerah berdasarkan sentral produksinya untuk mengetahui pengaruh perbedaan daerah asal seledri terhadap komposisi kimia dan pola sidik jarinya. Parameter validasi metode seperti stabilitas, spesifitas, ketelitian, dan robustness (ketangguhan) digunakan agar dapat mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.

Seledri (A. graveolens)
Seledri merupakan tanaman yang diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Apiales, famili Apiaceae, genus Apium, dan spesies A. graveolens. Seledri memiliki khasiat untuk mengurangi asam urat darah yang tinggi, memacu enzim pencernaan (stomatik), peluruh kencing (diuretik), menurunkan tekanan darah (hipotensi), menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid, dan memperbaiki fungsi hormon yang terganggu. Seledri juga banyak digunakan untuk mengobati sakit mata, keseleo, dan sebagai penyubur rambut. Ciri makroskopis seledri berupa daun tunggal atau majemuk semu, tangkai silindris beralur, dan panjang tangkai 5-15 cm. Daun seledri berbentuk segitiga dengan ujung runcing, pangkal berlekuk, dan tepi bergerigi (Gambar 1). Dalam keadaan kering, daun seledri menggulung, berwarna hijau kecoklatan, beraroma kuat, dan rasa manis sedikit pahit (Djumidi et al. 1998).
Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada seledri diantaranya flavonoid dengan komponen utama apigenin dan apiin, minyak atsiri dengan komponen utama isokariofilen, kariofilen, stearaldehida, dan senyawa kumarin dengan komponen utama umbelliferon. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji diantaranya asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat, oleat, linoleat, dan petroselinat. Senyawa identitas dalam ekstrak seledri adalah apigenin dan apiin (BPOM 2004). Kandungan setiap 100 g herba seledri adalah air sebanyak 93 ml, protein 0.9 g, lemak 0.1 g, karbohidrat 4 g, serat 0.9 g, kalsium 50 mg, besi 1 mg, fosfor 40 mg, iodium 150 mg, kalium 400 mg, magnesium 85 mg, vitamin A 130 IU, vitamin C 15 mg, riboflavin 0.05 mg, dan tiamin 0.03 mg (Susiarti 2000).
3 vimage

Analisis Sidik Jari
Kendali mutu selalu menjadi persoalan dalam perkembangan tanaman-tanaman obat. Salah satu metode untuk kendali mutu multikomponen tanaman obat yang diterima secara luas adalah analisis sidik jari. Analisis sidik jari dapat memberikan informasi mengenai komponen kimia pada tanaman obat melalui pola kromatogram tanpa memperhatikan jenis kandungan komponennya. Analisis ini dapat menentukan identitas, mutu, dan keaslian tanaman obat serta menjamin keamanan dan konsistensi produknya. Analisis sidik jari tanaman obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu cara ekstraksi, instrumen pengukur, dan kondisi pengukuran (Borges et al. 2007).
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk analisis sidik jari adalah teknik kromatografi. Penelitian mengenai analisis sidik jari terhadap tanaman obat menggunakan teknik kromatografi telah banyak dilakukan, yaitu penelitian Borges et al. (2007) pada Camellia sinensis, Almeide dan Scarminio (2007) pada teh hijau, Soares dan Scarminio (2007) pada genus Bauhinia, dan Delaroza dan Scarminio (2008) pada Bauhinia variegate. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan KCKT dengan rancangan campuran simplex centroid. Teknik kromatografi yang paling luas digunakan pada fitokimia adalah KLT karena dapat diterapkan pada hampir setiap golongan senyawa kecuali komponen yang sangat atsiri (Harborne 1987). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis sidik jari pada tanaman obat dengan menggunakan KLT diantaranya Birk et al. (2005) pada spesies Passiflora, Chen et al. (2006) pada Puerariae lobate dan Puerariae thomsonii, dan Vermaak et al. (2009) pada Hoodia gordonii.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam proses pemurnian dan identifikasi senyawa kimia pada tanaman obat. Prinsip KLT adalah pemisahan komponen berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Sebaliknya, komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase gerak akan bergerak lebih cepat. Fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah silika gel, alumina, kieselguhr, dan selulosa (Adnan 1997).
Deteksi hasil pemisahan dengan KLT pada kromatogram (spot) dilakukan di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm atau penyemprotan dengan reagen tertentu seperti anisaldehida dan vanilin dalam asam sulfat. Pembentukan warna optimum pada spot bergantung pada suhu dan waktu tertentu. Suhu dan waktu optimum yang dapat digunakan untuk memunculkan warna dari spot setelah penyemprotan reagen adalah 105-110°C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006).
Eluen atau fase gerak pada KLT merupakan suatu medium angkut yang terdiri atas satu atau campuran pelarut tunggal. Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam melalui gaya kapiler sehingga terbentuk spot. Senyawa diidentifikasi berdasarkan penampakan dan jarak relatif komponen terhadap jarak pelarut yang kemudian dibandingkan dengan spot standar untuk analisis kualitatifnya. Representasi posisi spot pada KLT dapat dijelaskan melalui faktor retardasi (Rf) yang didefinisikan sebagai hasil pembagian antara jarak spot dari garis awal dan jarak batas akhir pelarut dari garis awal penotolan (Fried & Sherma 1982). Nilai Rf khas untuk setiap senyawa tertentu (Khopkar 1990). Bilik kaca berisi pelat KLT dan eluen ditunjukkan pada Gambar 2.
Saat ini telah dikembangkan KLT semiotomatis CAMAG Linomat V. Alat ini dikendalikan oleh suatu mikroprosesor yang menyebabkan larutan ekstrak dapat diaplikasikan pada pelat dalam bentuk pita dengan mengompresikan tekanan udara atau gas nitrogen sehingga tidak memerlukan kontak langsung dengan pelat dan dapat mengurangi kerusakan pelat (Wall 2005).

 


Gambar 2  Bilik kaca berisi pelat KLT dan    eluen.

Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemindahan suatu zat terlarut secara selektif dari suatu bahan dengan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur, kandungan air tanaman yang diekstraksi, dan jenis senyawa yang akan diisolasi (Harborne 1987). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Pelarut harus dapat berdifusi ke dalam sel tanaman dan senyawa harus terlarut secara sempurna di dalam pelarut sehingga tercapai kesetimbangan antara pelarut dan senyawa terlarut (Khopkar 1990).
Metode ekstraksi maserasi umum digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan terhadap panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan jangka waktu tertentu, biasanya dilakukan selama 24 jam tanpa menggunakan pemanas. Kelebihan metode ini diantaranya sederhana dan bisa menghindari kerusakan komponen senyawa. Kelemahan metode ini ditinjau dari segi waktu dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Meloan 1999).
Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001).

Rancangan Campuran

Rancangan campuran merupakan rancangan percobaan yang menjelaskan  bahwa dalam suatu percobaan terdapat campuran dari beberapa komponen dan penjumlahan dari tingkatan faktor untuk tiap-tiap kombinasi perlakuan konstan dan tetap (Montgomery 2005). Ciri rancangan ini adalah penjumlahan semua faktor harus sama dengan satu. Metode yang termasuk dalam rancangan campuran adalah simplex lattice, simplex centroid, dan extreme vertices. Simplex centroid digunakan untuk memberikan ulasan percobaan dari respon permukaan di bagian tengah bidang. Salah satu cara untuk menggambarkan model adalah mempertimbangkan struktur dari percobaan tiga faktor. Titik tengah ditempatkan dalam model dengan menemukan rata-rata tingkatan dari semua faktor  yang terlibat simplex. Rancangan yang menggunakan tiga komponen dalam simplex centroid berbentuk segitiga sama sisi dalam dua dimensi (Gambar 3) sedangkan responnya direpresentasikan dengan permukaan segitiga sebagai peta kontur yang masing-masing garis konturnya menggambarkan respon yang spesifik (Smith 2005).  







Gambar 3  Rancangan simplex centroid.

Rancangan Central Composite

Rancangan central composite menyatakan hubungan antara variabel bebas dan respon. Central composite digunakan pada sistem dengan banyak faktor yang memerlukan minimal dua variabel yang divariasikan (Zhang et al. 2007). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada tanaman obat dengan menggunakan rancangan central composite diantaranya Melecchi et al. (2006) pada Hibiscus tiliaceus, Banik dan Pandey (2008) pada Lantana camara, dan Durmus dan Evranuz (2010) pada Capsicum frutescens.
 Rancangan central composite untuk variabel bebas (k) = 3 ditunjukkan pada Gambar 4. Rancangan ini terdiri atas 2k faktorial. Titik faktorial merupakan kombinasi faktor-faktor yang divariasikan dengan nilai kode xk = ± 1 untuk memudahkan dalam perhitungan. Titik sumbu/aksial merupakan pelebaran dari pusat kubus sebanyak 2*k dan titik pusat yang dikodekan dengan nilai 0 untuk masing-masing xk yang dicobakan n kali..
                                                                                                                                                                                                                                                                                                   



Titik faktorial
Titik pusat
Titik sumbu/aksial
 
 




Gambar 4  Rancangan central composite
                    untuk 3 variabel bebas.

Validasi Metode

Validasi metode analisis merupakan suatu tindakan penilaian terhadap metode tertentu yang sesuai dan cepat untuk pengukuran sampel tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan yang tidak dapat dihindari dari suatu metode sehingga menjamin mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis, yaitu stabilitas, spesifitas, presisi, dan robustness (ketangguhan).

Stabilitas

Uji stabilitas pada validasi metode KLT terdiri atas kestabilan analat baik selama kromatografi, pada pelat, dalam larutan, maupun visualisasi. Pengujian terhadap stabilitas bertujuan mengetahui mutu bahan baku maupun produk tanaman obat yang dapat bervariasi bergantung pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembapan dan oksigen serta memungkinkan rekomendasi terhadap kondisi penyimpanan, waktu sebelum pengujian, dan penentuan waktu simpan terhadap pola sidik jari yang dihasilkan oleh analat(Koll et al. 2003).
Stabilitas analat selama kromatografi diuji dengan menggunakan kromatografi dua dimensi. Analat stabil selama kromatografi jika semua komponen berada pada garis diagonal yang menghubungkan posisi aplikasi dengan persimpangan bidang kedua fase gerak. Jika spot banyak muncul di atas atau di bawah garis diagonal, hal ini mengindikasikan ketidakstabilan analat selama kromatografi.
Kestabilan analat dapat diuji sebelum kromatografi (dalam larutan dan pada pelat) yang direkomendasikan selama 3 jam. Jika pola sidik jari KLT stabil serta tidak ada perubahan yang signifikan setelah dibandingkan dengan sampel yang masih segar, maka analat stabil dalam larutan dan pada pelat selama selang waktu pengujian. Hal ini dapat menunjukkan pengaruh waktu penundaan sebelum dan sesudah sampel diaplikasikan pada pelat terhadap pola sidik jari KLT.
Uji stabilitas hasil dilakukan dengan mengamati hasil dan daerah sidik jari KLT selama waktu tertentu. Analat stabil jika tidak menunjukkan penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan terhadap pola sidik jari KLT selama selang waktu pengamatan, yaitu 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam (Reich & Schibili 2008).

Spesifitas

Spesifitas merupakan derajat penyimpangan metode terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran atau senyawa asing lainnya dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Metode spesifik jika pola sidik jari sampel yang sama identik terhadap jumlah, warna, intensitas, dan posisi pita. Pita senyawa penciri harus terdapat pada sidik jari sampel (Reich & Schibili 2008).

Presisi

Presisi merupakan kedekatan nilai dari beberapa hasil pengujian. Keterulangan merupakan presisi yang diukur dari hasil penetapan dengan menggunakan laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, suhu, dan dalam waktu yang singkat. Validasi metode KLT untuk keterulangan dapat diterima jika semua pola sidik jari pada ketiga pelat menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing – masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.02.
Presisi menengah merupakan presisi yang diukur dari hasil penetapan dengan menggunakan laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, dan suhu yang sama namun pada waktu yang lebih lama. Validasi metode KLT untuk presisi menengah dapat diterima jika semua pola sidik jari pada ketiga pelat pada tiga hari berbeda menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing –masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.05 (Reich & Schibili 2008).

Ketangguhan


Ketangguhan merupakan ukuran ketertiruan  yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, metode, instrumen, bahan pereaksi, suhu, dan waktu yang berbeda.
Validasi metode ketangguhan dapat diterima jika tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Uji ketangguhan pada validasi metode KLT membandingkan pengaruh penggunaan bilik kaca yang berbeda, yaitu twin trough dan flat bottom dan perbedaan nilai Rf tidak lebih besar dari 0.05 (Reich & Schibili 2008).

                BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik Precisa XT 220A, Camag Linomat 5 (Camag, Muttenz, Swiss), Camag Reprostar 3 didukung piranti lunak winCATS 1.2.3 untuk dokumentasi kromatogram KLT, bilik kaca kromatografi twin trough dan flat bottom, botol penyemprot KLT, oven Memmert, dan
sonikator Branson 1510.
Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk seledri dari 6 lokasi berbeda (Malang, Semarang, Garut, Bandung, Bandung Barat, dan Cianjur), standar apigenin yang diperoleh dari Sigma-Aldrich (St Louis, Amerika Serikat), pelat KLT silika gel  60 F254 20 x 20 cm (Merck, Darmstadt, Jerman), etanol 96%, pelarut untuk fase gerak dengan tingkat analitis yang diperoleh dari Merck dan Sigma-Aldrich (St Louis, Amerika Serikat) seperti n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, dan kloroform, asam sulfat pekat, vanilin dan anisaldehida.

Metode Penelitian
Preparasi Sampel

Ekstrak kental dari ekstraksi maserasi dengan metode yang ditetapkan dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 dilarutkan dengan etanol 96% sehingga diperoleh konsentrasi 10000 mg/L.

Kondisi KLT

Penotolan ekstrak maserasi dan filtrat dari ekstraksi sonikasi pada pelat menggunakan KLT aplikator semiotomatis, yaitu Camag Linomat V dengan menggunakan pelat silika gel 60 F254. Pelat dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 15 menit sebelum digunakan. Kondisi aplikasi antara lain gas pembawa adalah nitrogen, kecepatan pengiriman sampel dengan syringe sebesar 80 nL/s, aplikasi volume sampel sebesar 15.0 µL sedangkan 25 µL untuk larutan standar, lebar pita 8 mm, dan jarak dari tepi bawah pelat sebesar 15 mm.



Tabel 1  Rancangan komposisi fase gerak
Fase Gerak
Perbandingan komposisi (v/v/v)

A
B
C
1
1
0
0
1
2
0
0
3
0
1
0
4
1/2
0
1/2
5
0
1/2
1/2
6
1/2
1/2
0
7
1/3
1/3
1/3
8
1/6
2/3
1/6
9
1/6
1/6
2/3
10
2/3
1/6
1/6
 Pemilihan Pelarut

Sebanyak 5 mL masing-masing pelarut tunggal, yaitu n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, dan kloroform dimasukkan ke dalam bilik kaca kromatografi twin trough dan dijenuhkan selama 20 menit. Pelat KLT yang telah ditotolkan ekstrak dimasukkan ke dalam bilik kaca kromatografi. Elusi dilakukan hingga eluen mencapai jarak 0,5 cm dari tepi atas pelat. Pelat kemudian diangkat dan dikeringudarakan.
Deteksi komponen dilakukan untuk melihat pita atau bercak yang muncul pada pelat. Tiga pelarut yang dipilih dari dua belas pelarut tunggal, yaitu yang memberikan pita terbanyak dan memiliki keterpisahan yang baik yang kombinasinya ditentukan oleh  rancangan simplex centroid.

Komposisi Fase Gerak dengan Rancangan Simplex Centroid
(Almeide & Scarminio 2007)


Gambar 5  Titik selektivitas berdasarkan rancangan simplex centroid.

 Deteksi Komponen

Deteksi komponen dilakukan dengan tiga cara. Pertama, setelah pelat dikeringudarakan selama 5-10 menit, pelat disinari dengan UV 254 dan 366 nm menggunakan Camag Reprostar 3 sehingga pita akan terlihat (Fernand 2003). Kedua, pelat yang telah dikeringudarakan disemprot dengan campuran larutan vanilin-asam sulfat. Larutan vanilin-asam sulfat dibuat dengan melarutkan 0.25  gram vanilin dengan sedikit etanol dan ditambah asam sulfat pekat kemudian ditera dengan etanol pada labu takar 25 mL. Larutan disemprotkan pada pelat dan dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 105°C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006). Ketiga, pada pelat yang berbeda, pelat yang telah dikeringudarakan disemprot dengan larutan anisaldehida. Larutan anisaldehida dibuat dengan memasukkan 0.125 mL anisaldehida ke dalam labu takar 25 mL dan ditera dengan alkohol asam. Larutan disemprotkan pada pelat dan dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat dipanaskan di dalam oven dengan temperatur 105°C selama 5-10 menit. Masing-masing pita kemudian dihitung nilai Rf-nya.

Rf  = jarak komponen dari garis start
     jarak eluen dari garis start




Ekstraksi dengan Sonikasi
 (Melecchi et al. 2006)

Serbuk seledri kering dimasukkan ke dalam botol vial dan diekstraksi dengan etanol 96% dalam ultrasonik cleaning bath dengan frekuensi 42 kHz pada suhu ruang. Ekstraksi dihentikan dan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diujikan pada pelat KLT. Variasi perlakuan ekstraksi, yaitu bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi ditentukan dengan rancangan central composite yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2  Variasi ekstraksi sonikasi dengan    rancangan central composite  
     
Perlakuan
Bobot
(g)
Volume (mL)
Waktu (menit)
1
1
1.59
10
2
0.5
15
15
3
0.5
15
5
4
1
18.41
10
5
1.5
15
15
6
0.159
10
10
7
1.5
5
5
8
1
10
1.59
9
1.5
5
15
10
1.841
10
10
11
0.5
5
5
12
0.5
5
15
13
1.5
15
5
14
1
10
18.41
15
1
10
10
16
1
10
10
17
1
10
10
18
1
10
10
19
1
10
10
20
1
10
10

Preparasi Larutan Senyawa Standar

Senyawa standar apigenin dilarutkan dalam metanol p.a sehingga diperoleh konsentrasi 100 mg/L.

Validasi Metode
(Reich & Schibili 2008)

Spesifitas

       Ekstrak dari berbagai lokasi diaplikasikan pada pelat 12 x 10 cm dan dibandingkan dengan larutan standar apigenin. Sampel dan standar kemudian didokumentasikan


Stabilitas Analat Selama Kromatografi

Ekstrak diaplikasikan sebagai spot menggunakan pipet kapiler pada sudut kanan bawah pelat berukuran 10 x 10 cm (10 mm dari masing-masing tepi). Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat kemudian diputar 90° dan dikembangkan untuk kedua kalinya dengan pelarut pengembang yang masih segar. Pelat kemudian didokumentasikan.

Stabilitas Analat  pada Pelat dan dalam Larutan

Ekstrak diaplikasikan pada pelat 8 x 10 cm dengan 4 cara, yaitu sampel pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi, sampel segar diaplikasikan segera sebelum kromatografi (dua kali), sampel disiapkan 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan), dan standar apigenin. Pelat kemudian didokumentasikan.

Stabilitas Visualisasi

Ekstrak diaplikasikan pada pelat 3 x 10 cm dan diamati dengan visualisasi UV 366 nm. Pelat diamati selama 1 jam. Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam.

Keterulangan

Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda diaplikasikan pada tiga pelat berbeda dengan ukuran pelat 6.5 x 10 cm. Selain itu, larutan standar diaplikasikan sebanyak satu kali pada masing-masing pelat. Pelat dikromatografi menggunakan bilik kaca yang sama, namun dengan larutan pengembang yang masih segar. Pelat kemudian didokumentasikan.

Presisi Menengah

Prosedur sama dengan keterulangan. Akan tetapi, hanya menggunakan satu pelat dalam satu hari dan dilakukan pada tiga hari yang berbeda. Pelat kemudian didokumentasikan.

Ketangguhan

Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar diaplikasikan pada pelat dengan ukuran 6.5 x 10 cm. Pelat dikromatografi menggunakan bilik kaca twin trough dan flat bottom.  Pelat kemudian didokumentasikan. Hasil kromatogram dengan bilik kaca twin trough dan flat bottom kemudian dibandingkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Pelarut

Pemilihan tiga pelarut yang akan dikombinasikan sebagai fase gerak diawali dengan menguji 12 pelarut tunggal. Pemilihan ke-12 pelarut ini diharapkan dapat mewakili tingkat kepolaran senyawa yang terdapat pada seledri. Ekstrak yang digunakan, yaitu ekstrak maserasi menurut standar BPOM dengan menggunakan empat metode pendeteksian, diantaranya UV 254 dan 366 nm, vanilin-asam sulfat, dan anisaldehida dengan jumlah pita yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 6.





 Gambar 6  Hubungan antara jumlah pita yang  
                   dihasilkan menggunakan deteksi    
                 UV 254 nm, 366 nm, vanilin-  asam sulfat, dan anisaldehida.
                Keterangan :   = visualisasi dengan UV 254 nm,    = visualisasi dengan UV 366 nm,    = deteksi vanilin-asam sulfat,  = deteksi anisaldehida
                
Secara umum, pelarut yang menghasilkan pita terbanyak dan keterpisahan yang baik, yaitu kloroform, diklorometana, etil asetat dan dietil eter (Gambar 7). Jumlah perbedaan pita yang tampak dari keempat pendeteksian tersebut dikarenakan setiap deteksi memunculkan senyawa yang berbeda. Deteksi dengan UV digunakan untuk memunculkan senyawa yang dapat mengabsorpsi sinar UV, yaitu senyawa yang memiliki gugus kromofor (berkonjugasi). Sinar UV 254 akan memunculkan komponen sebagai bercak gelap di bawah UV sedangkan UV 366 nm akan memunculkan komponen yang berpendar/ bercahaya sehingga pita akan terlihat lebih jelas. Deteksi lainnya seperti vanilin asam-sulfat merupakan reagen yang umum digunakan dengan adanya reaksi pembakaran serta dapat mendeteksi senyawa terpenoid, sterol, alkaloid, dan senyawa lipofilik lainnya. Anisaldehida dapat mendeteksi senyawa-senyawa seperti halnya dengan vanilin-asam sulfat, namun biasanya memunculkan warna yang lebih beragam (Hajnos et al. 2008). Dilihat dari jumlah pita dan intensitas warna yang dihasilkan, deteksi menggunakan vanilin-asam sulfat lebih baik dibandingkan anisaldehida (Lampiran 3). Oleh karena itu, deteksi UV 366 nm dan vanilin-asam sulfat digunakan untuk deteksi pada langkah selanjutnya karena memunculkan pita yang lebih baik dibandingkan dua metode pendeteksian lainnya.

   A          B          C           D          E           F
  G           H           I           J            K          L

Gambar 7  Hasil elusi menggunakan pelarut tunggal (A) etanol, (B) THF, (C) asam asetat, (D) aseton, (E) metanol, (F) asetonitril, (G) butanol, (H) etil asetat, (I) diklorometana, (J) kloroform, (K) dietileter, dan (L) n-heksana dengan visualisasi UV 366 nm.

Berdasarkan pola pemisahan seperti ditunjukkan pada Gambar 7, pelarut yang bersifat cenderung polar akan menghasilkan pita dengan jumlah sedikit yang mendekati garis akhir dan berekor (Gambar 7A-F). Pelarut yang bersifat nonpolar akan cenderung tertahan pada garis awal dan tidak menghasilkan pemisahan komponen (Gambar 7L) sedangkan pelarut yang bersifat semipolar  menghasilkan banyak pita dengan jarak antarpita yang berdekatan (Gambar 7G-K). Perbedaan pola pemisahan ini disebabkan karena masing-masing pelarut memiliki kekuatan yang berbeda untuk memisahkan komponen (Lampiran 2).
Pita yang dihasilkan oleh etil asetat dan dietil eter memiliki jumlah yang sama, sehingga dilakukan pengujian awal sebelum pemilihan tiga komposisi fase gerak. Komposisi awal yang dicobakan adalah kloroform: diklorometana: etil asetat dan kloroform: diklorometana: dietil eter dengan
perbandingan yang sama, yaitu 1/3:1/3:1/3. Berdasarkan keterpisahan yang baik, maka komposisi fase gerak yang dipilih adalah kloroform, diklorometana, dan etil asetat (Lampiran 4). Pelarut-pelarut yang dipilih tersebut memiliki sifat semipolar sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa-senyawa yang terdapat pada seledri sebagian besar bersifat semipolar.
Penentuan Titik Optimum dari  Rancangan Simplex Centroid
Rancangan simplex centroid digunakan untuk menentukan komposisi pelarut sebagai fase gerak optimum. Ketiga pelarut terpilih, yaitu diklorometana, kloroform, dan etilasetat masing-masing sebagai titik A, B, dan C diujikan dengan komposisi pelarut seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Hubungan antara jumlah pita yang  dihasilkan menggunakan deteksi vanilin-asam sulfat dan visualisasi UV 366 nm dengan 10 jenis komposisi fase gerak ditunjukkan pada Gambar 8.
 










Gambar 8  Hubungan antara jumlah pita yang    dihasilkan menggunakan deteksi vanilin-asam sulfat dan visualisasi UV 366 nm pada 10 komposisi fase gerak.
                                  Keterangan :   = deteksi vanilin-asam sulfat,    
                                   = visualisasi dengan UV 366 nm

Berdasarkan Gambar 8 dapat terlihat bahwa komposisi pelarut yang memunculkan pita yang paling banyak, yaitu saat pelarut kloroform tunggal baik pada deteksi vanilin-asam sulfat maupun visualisasi UV 366 nm. Hasil Minitab 14 terhadap hubungan komposisi fase gerak dan jumlah pita menghasilkan persamaan regresi untuk menduga model dari kedua deteksi tersebut. Persamaan regresi untuk visualisasi UV 366 nm, yaitu Å· = 15.018A + 18.109 B + 10.290 C + 0.697 AB – 6.939 AC – 4.758 BC dengan faktor determinasi (R2) = 90.54 % (Lampiran 7). Persamaan regresi untuk deteksi vanilin-asam sulfat, yaitu Å· = 10.135 A + 10.862 B + 3.226 C – 3.859 AB – 7.131 AC – 1.677 BC dengan R2 = 94.21% (Lampiran 8). Dengan besarnya R2, yaitu lebih dari 90 % pada kedua deteksi tersebut menunjukkan bahwa kedua deteksi ini cukup baik dalam memunculkan profil sidik jari komponen karena jumlah pita yang dihasilkan cukup banyak. Daerah optimum yang dihasilkan oleh kedua deteksi ditunjukkan pada Gambar 9 dan dinyatakan dengan warna hijau tua.
 







A                                  B

Gambar 9  Daerah optimum pada visualisasi   
                   UV 366 nm (A) dan deteksi vanilin-asam sulfat (B).   
                    Keterangan: Jumlah pita visualisasi UV 366 nm     < 12,    =12-14,    = 14-16,    = 16-18,
>18 dan deteksi vanilin-asam sulfat    < 4,
     = 4-5,    = 5-6,    = 6-7,   = 7-8,     = 8-9,
     = 9-10,      >10

Daerah optimum untuk visualisasi UV 366 ditunjukkan ketika komposisi kloroform lebih banyak atau mendekati titik B dan hanya sedikit berada di daerah titik A dengan perbandingan diklorometana : kloroform, yaitu 0.04477 : 0.95523 (Lampiran 7). Lain halnya dengan deteksi vanilin-asam sulfat, daerah optimum ditunjukkan ketika warna hijau tua berada seluruhnya di daerah titik B. Hal ini menunjukkan bahwa titik optimum deteksi vanilin-asam sulfat, yaitu ketika digunakan pelarut kloroform tunggal (Lampiran 8).  Perbedaan titik optimum ini disebabkan adanya perbedaan jumlah pita yang terlihat pada kedua deteksi sehingga akan memengaruhi respon terhadap daerah optimum.
Hasil titik optimum yang d dari Minitab 14 tersebut kemudian diujikan kembali pada KLT untuk mengetahui profil pemisahannya. Hasil pemisahan yang dihasilkan pada kedua titik optimum masih menunjukkan keterpisahan yang kurang baik, yaitu jarak antarpita masih berdekatan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa rancangan campuran pada penelitian ini belum dapat digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak optimum dengan pemisahan terbaik. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam mencari fase gerak terbaik tidak hanya dilihat dari jumlah pita yang dihasilkan tetapi juga berdasarkan pemisahan antarpitanya.          Beberapa komposisi fase gerak lain di luar komposisi rancangan campuran perlu dicobakan sehingga diharapkan dapat menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Pemilihan komposisi tersebut berdasarkan hasil titik optimum visualisasi UV 366 yang menunjukkan komposisi kloroform lebih banyak dibandingkan diklorometana. Hasil analisis KLT dengan variasi perbandingan fase gerak yang dicobakan menunjukkan bahwa komposisi fase gerak kloroform : diklorometana dengan perbandingan 75:25 menghasilkan pemisahan terbaik dengan 19 pita (Gambar 10). Komposisi fase gerak ini digunakan sebagai fase gerak optimum untuk pemisahan komponen pada seledri.
klo-diklo 75-25
 








Gambar 10  Pola KLT pada fase  gerak   optimum ekstraksi maserasi dengan visualisasi UV 366   nm.
Ekstraksi Sonikasi
Setelah fase gerak telah dioptimumkan, maka dilakukan perlakuan 20 ekstraksi sonikasi. Pola KLT sidik jari seledri hasil 20   perlakuan ekstraksi sonikasi dengan visualisasi UV 366 nm ditunjukkan pada Gambar 11. Hasil KLT tersebut menunjukkan bahwa jumlah pita bervariasi, yaitu antara 6-14 spot untuk deteksi UV 366 nm dan antara 6-11 spot untuk deteksi vanilin-asam sulfat (Lampiran 9). Secara visual, perlakuan ekstraksi sonikasi yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dengan pemisahan terbaik dari percobaan adalah perlakuan 13. Namun, perlakuan ini bukan merupakan titik optimum ekstraksi sonikasi. Pendugaan titik optimum diperoleh berdasarkan data jumlah pita yang dihasilkan yang diolah menggunakan piranti lunak Minitab 14.




Gambar 11  Pola KLT seledri hasil 20     perlakuan ekstraksi sonikasi dengan visualisasi UV 366 nm.                                                 
Data yang diolah  menggunakan piranti lunak Minitab 14 dengan bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi masing-masing sebagai B, V, dan W menghasilkan persamaan regresi untuk visualisasi UV 366 nm, yaitu Å· = 12.8082 – 0.2197 W + 1.0817 B – 0.7822 V + 0.5769 W2 –1.0141 B2 – 0.3070 V2 + 0.1250 WB + 0.1250 WV – 0.1250 BV yang menunjukkan hubungan variasi ekstraksi sonikasi dengan jumlah pita (Lampiran 9). R2 yang diperoleh sebesar 51.8 %, artinya variasi variabel bobot sampel, volume pelarut, dan waktu ekstraksi yang digunakan dalam model mampu menjelaskan sebesar 51.8 % terhadap jumlah pita sedangkan persentase sisanya dijelaskan/dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Kondisi optimum ekstraksi sonikasi yang dihasilkan, yaitu level bobot = - 0.25487, volume = - 1.68179, dan waktu 0.0000 dengan masing-masing nilai level untuk bobot = 0.8726 g, volume = 1.59 mL, dan waktu ekstraksi selama 10 menit. Pola KLT pada titik  optimum ekstraksi sonikasi ditunjukkan pada Gambar 12.





Sonikasi optimum coba lagi 366+Ket 









Gambar 12  Pola KLT pada titik  optimum ekstraksi sonikasi pada UV 366 nm dengan waktu 10 menit.

Teknik Ekstraksi Terbaik

Profil sidik jari KLT yang diperoleh dari titik optimum ektraksi maserasi dan sonikasi menunjukkan pola kromatogram yang sedikit berbeda (Gambar 10 dan 12). Jika dilihat dari intensitas, pemisahan antarpita maupun jumlah pita yang dihasilkan, ekstraksi maserasi menghasilkan pola yang lebih baik. Namun, berdasarkan efisiensi waktu ekstraksi, ekstraksi sonikasi yang lebih singkat dapat menghasilkan pola kromatogram yang cukup baik. Oleh karena itu, maka ekstraksi yang baik memisahkan komponen seledri dalam waktu yang relatif singkat adalah ekstraksi sonikasi dibandingkan ekstraksi maserasi yang memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu 72 jam dalam proses isolasi komponen.

Validasi Metode

Uji Berbagai Daerah (Spesifitas)

Setelah teknik ekstraksi dan fase gerak baik jenis maupun nisbahnya telah dioptimumkan, maka kondisi kromatografi diaplikasikan terhadap seluruh sampel seledri dari lokasi yang berbeda. Hal tersebut bertujuan untuk verifikasi keautentikan, mutu, dan penegasan keberadaan apigenin dalam seledri baik bahan baku maupun produknya berdasarkan pita-pita yang terdapat pada pola sidik jari KLT (Gambar 13). Pita-pita yang terbentuk tersebut juga akan menunjukkan pola yang khas pada tiap lokasi asal seledri sedangkan keberadaan senyawa penciri apigenin akan menentukan mutu tanaman seledri secara kualitatif.








 









Gambar 13  Pola KLT sidik jari seledri dari     berbagai daerah dengan visualisasi UV 366 nm.

Hasil KLT pada Gambar 13 dapat terlihat jelas bahwa pola sidik jari seledri dari lokasi yang berbeda hampir sama berdasarkan jumlah, warna, dan posisi pita untuk setiap lokasi namun dengan intensitas berbeda. Semua sampel seledri dari berbagai daerah mengandung apigenin karena memiliki pita khas senyawa apigenin pada Rf 0.28. Secara visual, intensitas pita apigenin terendah  ditunjukkan pada sampel dari daerah Garut sedangkan intensitas tertinggi ditunjukkan dari daerah Semarang. Oleh karena itu, perbedaan daerah asal seledri dapat terbukti memengaruhi pola sidik jari KLT karena adanya perbedaan asal geografis, iklim, dan masa penyimpanan (Liang et al. 2004). Sampel seledri dari Semarang ini selanjutnya akan digunakan pada validasi metode yang lain untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.
Berdasarkan spesifitas, metode ini spesifik karena sampel seledri dari berbagai lokasi menunjukkan pola sidik jari yang serupa dan menunjukkan pita senyawa penciri apigenin (Reich & Schibli 2008).
Stabilitas Analat Selama Kromatografi

Hasil kromatografi dua dimensi pada Gambar 14 dapat terlihat bahwa spot komponen berada pada garis diagonal setelah proses elusi kedua. Selain itu, tidak ada spot yang berada di luar garis diagonal dan nilai Rf yang tidak berbeda jauh baik pada elusi pertama maupun elusi kedua (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil selama kromatografi.







 











Gambar 14  Stabilitas analat selama kromatografi dengan visualisasi UV 366 nm.                  
Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan

Uji stabilitas analat pada pelat dan dalam larutan menunjukkan bahwa analat stabil baik pada pelat maupun dalam larutan selama tiga jam karena tidak ada perbedaan intensitas pita setelah dibandingkan dengan sampel yang masih segar (Gambar 15). Selain itu, tidak ada perbedaan pita yang muncul atau tidak muncul pada setiap larutan yang diujikan serta perbedaan Rf pada masing-masing larutan tidak lebih dari 0.02 (Lampiran 10).

 








                             a    b   c    d   e

Gambar 15  Stabilitas analat (a) pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi, (b dan c) sampel segar diaplikasikan segera  sebelum kromatografi, (d) sampel disiapkan selama 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan), dan (e) standar apigenin dengan visualisasi UV 366 nm.

Stabilitas Visualisasi

Hasil uji stabilitas visualisasi ditunjukkan pada Gambar 16. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tidak ada penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan terhadap pola sidik jari KLT seledri selama pengamatan 1 jam. Selain itu, tidak ada pita yang muncul atau tidak muncul pada beberapa lama waktu pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil kurang dari 1 jam.  Oleh karena itu, metode untuk stabilitas visualisasi ini dapat diterima karena tidak ada perubahan pola sidik jari yang signifikan dalam waktu 1 jam.

 









Gambar 16  Stabilitas visualisasi pada UV 366     nm.
Keterulangan

Hasil uji keterulangan ditunjukkan pada Gambar 17. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat berbeda. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.02. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 11). Keterulangan sangat baik karena masing-masing pita pada setiap pelatnya relatif tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa metode untuk keterulangan sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.



 









(a)                         (b)                      (c)
Gambar 17  Keterulangan (a) pada pelat ke-1,                                     (b) pelat ke-2, dan (c) pelat ke-3                       dengan visualisasi UV 366 nm.

Presisi Menengah

Hasil uji presisi menengah ditunjukkan pada Gambar 18. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat dan tiga hari berbeda. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.02. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 12). Presisi menengah sangat baik karena masing-masing pita pada pelat setiap harinya relatif tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa metode untuk presisi menengah sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.

 








(a)                         (b)                   (c)

Gambar 18  Presisi menengah (a) pada hari ke-1, (b) hari ke-2, dan (c) hari ke-3 dengan visualisasi UV 366 nm.                
 
Ketangguhan


Hasil uji ketangguhan ditunjukkan pada Gambar 19. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari KLT pada seledri yang serupa baik jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita baik pada bilik kaca twin trough maupun  flat bottom. Selain itu, nilai Rf tidak bervariasi lebih dari 0.03. Perbedaan nilai Rf hanya 0.02 pada masing-masing pelat (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bilik kaca yang berbeda tidak memengaruhi pola sidik jari KLT seledri. Oleh karena itu,  metode untuk ketangguhan sesuai dengan kriteria yang dapat diterima dan dapat digunakan mengidentifikasi sampel seledri secara cepat dan terpercaya.



        




(a)                                  (b)

Gambar 19  Pola KLT sidik jari seledri dengan bilik kaca twin trough (a) dan flat bottom  (b) dengan visualisasi UV 366 nm.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
       
Pelarut yang dapat menghasilkan profil pemisahan KLT komponen seledri dengan baik adalah kloroform : diklorometana dengan perbandingan 75:25 untuk pelat KLT silika gel. Teknik ekstraksi terbaik untuk mengisolasi komponen kimia pada seledri, yaitu ekstraksi sonikasi Kondisi optimum ekstraksi sonikasi adalah pada waktu ekstraksi 10 menit, bobot sampel 0.8726 g, dan volume pelarut 1.59 mL pada deteksi UV 366 nm. Semua kriteria validasi metode dapat diterima sehingga dapat digunakan untuk identifikasi seledri secara cepat dan terpercaya.
Saran

Perlu dicobakan variasi variabel lain yang dapat memengaruhi hasil ekstraksi sonikasi. Selain itu, perlu dilakukan validasi metode lain pada kondisi optimum yang diperoleh untuk meyakinkan mutu baik bahan baku maupun produk tanaman seledri.

DAFTAR PUSTAKA

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1. Jakarta: BPOM RI.

[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Rl.
Almeide AA, Scarminio IS. 2007. Statistical mixture design of optimization of extraction media and mobile phase compositions for the characterization of green tea. Journal Separation Science 30: 414-420.

Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Ed ke-1. Yogyakarta: Andi.

Anderson VL,  McLean RA. 1974. Design of Experiments. New York: Marcel Dekker.

Ashley K, Andrews RN, Cavazosa L, Demange M. 2001. Ultrasonic extraction as a sample preparation technique for elemental analysis by atomic spectrometry. Journal of Analytical Atomic Spectrometry 16:1147-1153.

Banik RM, Pandey DK. 2008. Optimizing conditions for oleanolic acid extraction from Lantana camara roots using response suRface methodology. Industrial Crops and Product 27: 241-248.

Birk CD, Provensi G, Gosmann G2005. TLC fingerprint of flavonoids and saponins from Passiflora species. Journal of Liquid Chromatography & Related Technologies 28: 2285–2291.


Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, Scarminio IS. 2007. Mixture design for the fingerprint optimization of chromatographic mobile phases and extraction  solutions for Camellia sinensis. Analytica Chimica Acta 595: 28-37.

Chen et al. 2006. High-peRformance thin-layer chromatographic fingerprints of isoflavonoids for distinguishing between Radix Puerariae lobate and Radix Puerariae thomsonii. Journal of Chromatography A 1121: 114–119.

Delaroza F, Scarminio IS. 2008. Mixture design optimization of extraction and mobile phase media for fingerprint analysis of Bauhinia variegate L. Journal Separation Science 31: 1034-1041.

Djumidi et al. 1998. Simplisia Nabati. Jilid 1. Jakarta: Depkes RI.

Durmus EB, Evranuz O. 2010. Response suRface methodology for protein extraction optimization of red pepper seed (Capsicum frutescens). Food Science and Technology 43: 226–231.

Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus amarus Schum. and Thonn. and Quassia amara L. using normal phase thin layer chromatography [tesis]. Lousiana: Program Pascasarjana, University of Suriname.

Fried B, Sherma M. 1982. Chromatographic Science Series 17, Thin Layer Chromatography. Cazes, Editor. New York: Marcel Dekker.

Hajnos et al. 2008. Thin Layer Chromatography in Phytochamistry. London: CRC Press.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah;
      Niksolihin S, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Method.

Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. A Saptorahardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Basic Concepts of Analytical Chemistry.

Koll K, Reich E, Blatter A. 2003. Validation of standardized high-peRformance thin-layer chromatographic methods for quality control and stability testing of herbals. Journal of AOAC International 86: 909-915.

Liang YZ, Xie P, Chen K. 2004. Quality control of herbal medicines. Journal of Chromatography B 812: 53–70.

Melecchi et al. 2006. Optimization of the sonication extraction method of Hibiscus tiliaceus L. flowers. Ultrasonics Sonochemistry 13: 242-250.

Meloan CE. 1999. Chemical Separation. New York: J Willey.

Montgomery DC. 2005. Design and Analysis of Experiments. Ed ke-5. New York: John Willey & sons.

Nyiredy S. 2002. Planar chromatographic method development using the prisma optimization system and flow charts. Journal of Chromatography Science  40: 1-10.

Reich E, Schibli A, 2008. Validation of high-peRformance thin layer chromatographic methods for the identification of botanicals in a cGMP environment. Journal of AOAC International 91: 13-19.

Smith WF. 2005. Experiment Design for Formulation. Pyladelphia: American Statistical and The Society for Industrial Applied Mathematics.

Soares PK, Scarminio IS. 2007. Multivariate chromatographic fingerprint preparation and authentication of plant material from the genus Bauhinia. Phytochemical Analysis19: 78–85.

Soedibyo M. 1998. Alam Sumber Kesehatan. Manfaat dan Kegunaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Susiarti S. 2000. Seledri (Apium graveolens L) dari Mengolah Lahan Tidur menuju Agibisnis Sayuran. Seri Pengembangan Proses 8.1. Jakarta: Prosea Indonesia.

Tripathi et al. 2006. Quantitative determination of phyllanthin and hypophyllanthin in phyllanthus species by high peRformance thin layer chromatography. Phytochemical Analysis17: 394-397.

Vermaak I, Hamman JH, Viljoen AM. 2009. High peRformance thin layer chromatography as a method to authenticate Hoodia gordonii raw material and products. South African Journal of Botany: 6-11.

Wall PE. 2005. Thin Layer Chromatography: A Modern Practical Approach. Dorset: VWR International Ltd.

Zhang X, Wang R, Yang X, Yu J. 2007. Central composite experiment design applied to the catalytic aromatization of isophorone to 3,5-xylenol. Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems 89: 45–50.