Sabtu, 08 Januari 2011

PENENTUAN KADAR Fe(III) DAN Cr(VI) SECARA SIMULTAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE KALIBRASI MULTIVARIAT

ini adalah draft pertama dr skripsi saya,,sekalian sbg back up klo ada apa2 hehehe...

PENENTUAN KADAR Fe(III) DAN Cr(VI) SECARA SIMULTAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE KALIBRASI MULTIVARIAT
Soko Andhika P
Kimia IPB


PENDAHULUAN

Kromium merupakan logam industri yang penting karena rerupakan polutan utama, yang bersifat karsinogen, mutagenik, dan sangat beracun. Kromium memiliki dua bentuk oksidatif dalam lingkungan perairan. Pertama adalah Cr(VI) yang diketahui sebagai bentuk Cr yang sangat beracun, dan yang lain adalah Cr(III) yang sedikit pergerakannya, tidak beracun, dan bahkan merupakan unsur yang esensial bagi manusia dan hewan. (Liu et al 2006). Besi (Fe) merupakan unsur yang melimpah di alam dengan bentuk yang stabil, yaitu Fe(II) dan Fe (III). Fe(II) bermanfaat sebagai pembawa oksigen pada mioglobin dan mudah diserap tubuh, sedangkan Fe(III) tidak dapat mengikat oksigen (Kazemi et al 2004).
Cr(VI) dan Fe(III) adalah logam yang selalu ada dalam suatu sampel baik sampel bahan alami maupun limbah yang dihasilkan industri sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan sumber air minum. Pada saat ini telah dipelajari penentuan kadar besi dan krom yang dilakukan dengan sampel berbeda dan menggunakan tehnik yang berbeda pula. Beberapa dari tehnik ini memerlukan separasi fisik, preliminary treatment, bahkan memerlukan instrument yang berbeda (Abdollahi 2001).
Penentuan kadar Fe(III) biasanya dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri berdasarkan kemampuan Fe(III) untuk membentuk kompleks berwarna dengan beberapa pereaksi kromogenik. Pereaksi yang paling umum digunakan adalah 1,10 fenantrolin (Kazemi et al 2004) dan kalium tiosianat (KSCN)(Khopkar 2003). Penggunaan pereaksi kromogenik 1,10- fenantrolin kurang efisien digunakan karena pereaksi tersebut hanya spesifik untuk Fe(II), sehingga untuk penentuan Fe(III) diperlukan suatu zat pereduksi. Sementara itu, KSCN merupakan ligan yang elektron terluarnya mudah terpolarisasi akibat pengaruh ion dari luar dan dapat mengakibatkan terjadinya, interaksi dengan logam yang bukan analat, sehingga kurang baik untuk digunakan.
Penentuan kadar Cr terutama Cr(VI) menggunakan spektrofotometri sinar tampak umumnya menggunakan reagen organik yang dapat dioksidasi dan pembentukan ion asosiasi (Narayana & Cherian 2005). Reagen kromogenik yang biasa dipakai dalam penentuan Cr(VI) adalah difenilkarbazida (DPC), akan tetapi metode ini tidak sensitive (Snell 1978). Oleh karena itu, sangat dibutuhkan suatu metode yang dapat menentukan krom dan besi secara simultan yang memiliki selektivitas dan sensitivitas yang tinggi.
Salah satu tehnik analisis yang dapat digunakan untuk menentukan Fe(III) dan Cr(VI) secara simultan adalah dengan menggunakan metode kombinasi antara spektrofotometri dengan kalibrasi multivariat. Kalibrasi multivariat yang digunakan yaitu teknik analisis multi komponen kuadrat terkecil parsial atau partial least square (PLS). Metode ini merupakan bagian dari kemometrik yang bertujuan menemukan hubungan statistik antara data spektrum dan informasi yang telah diketahui. Keuntungan teknik ini dapat mengeliminasi spektrum yang mengganggu kuantifikasi analat, meningkatkan selektifitas, dan tidak memerlukan pemisahan atau prekonsentrasi terlebih dahulu (Brereton 2000). Tehnik analisis multi komponen ini membutuhkan suatu reagen kromogenik yang dapat bereaksi dengan Fe(III) dan Cr(VI) sehingga membentuk kompleks berwarna yang dapat dideteksi oleh spektrofotometer.
Kuersetin merupakan salah satu senyawa yang berpotensi sebagai pereaksi kromogenik (Alvarez et a. 1989). Kuersetin dalam media miselar dapat membentuk kompleks dengan Cr(VI), dengan Fe(III) sebagai ion pengganggu pada konsentrasi 0.5 ppm.
Kehadiran Fe(III) sebagai ion pengganggu menunjukkan bahwa kuersetin dapat juga membentuk kompleks dengan Fe(III). Hal ini diperkuat oleh Ryan & Hynes (2007) yang membentuk kompleks dengan nisbah antara Fe(III) dan kuersetin sebesar 2:1. Kemampuan kuersetin untuk mengikat dua Fe(III) telah diuji oleh Ryan & Hynes (2007) menggunakan titrasi spektrofotometri.


TINJAUAN PUSTAKA

Besi (Fe)

Besi merupakan logam yang paling banyak terdapat di alam. Besi juga diketahui sebagai unsur yang paling banyak membentuk bumi, yaitu kira-kira 4,7 - 5 % pada kerak bumi. Besi memiliki beberapa sifat, yaitu massa atom 55.845(2) g/mol, konfigurasi elektron [Ar] 3d6 4s2, massa jenis 7,86 g/cm3, titik lebur 1811 K (1538 °C), titik didih  3134 K (2861 °C), memiliki beberapa bilangan oksidasi yaitu 2, 3, 4, dan 6. Besi merupakan unsur golongan transisi yang salah satu sifatnya dapat membentuk senyawa kompleks berwarna. Kompleks yang dihasilkan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometri UV-tampak (Vogel 1982). Kompleks berwarna Fe(III)-kuersetin, disebutkan dalam beberapa literatur memiliki panjang gelombang maksimum pada 420 nm (Ryan & Hynes 2007) atau 422,5 nm (Maria et al 2008).
Reaksi kompleksasi Fe(III)-Kuersetin memberikan kondisi terbaik menggunakan larutan Buffer Asetat pada pH 4,6; 2,95x10-7 mol kuersetin; 8,22x10-6 mol CTAB dan waktu pengukuran 45 menit. Linieritas terbaik diperoleh pada kisaran konsentrasi 0,1 – 1,0 ppm dengan nilai R2 sebesar 98,32% (Fajrin 2009).
Besi adalah logam yang dihasilkan dari bijih besi dan jarang dijumpai dalam keadaan bebas, kebanyakan besi terdapat dalam batuan dan tanah sebagai oksida besi, seperti oksida besi magnetit ( Fe3O4) mengandung besi 65 %, hematite ( Fe2O3 ) mengandung 60 – 75 % besi, limonet ( Fe2O3 . H2O ) mengandung besi 20 % dan siderit (Fe2CO3). Dalam kehidupan, besi merupakan logam paling biasa digunakan dari pada logam-logam yang lain. Hal ini disebabkan karena harga yang murah dan kekuatannya yang baik sreta penggunaannya yang luas.

Krom (Cr)

Krom adalah  logam berbentuk kristal dan berwarna putih bening yang dilambangkan dengan “Cr”, mempunyai nomor atom 24 dan mempunyai berat atom 51,996, massa jenis 650 gr/cm3, titik lebur 1903°C pada tekanan 1 atm, titik didih 2642°C pada tekanan 1 atm (Darwono 1995). Nilai serapan optimum untuk Cr(III) yaitu pada panjang gelombang 410 nm sedangkan pada Cr(VI) pada panjang gelombang 560 nm (Puri et al 1978). Kromium merupakan logam industri yang penting karena rerupakan polutan utama, yang bersifat karsinogen, mutagenik, dan sangat beracun. Kromium memiliki dua bentuk oksidatif dalam lingkungan perairan. Pertama adalah Cr(VI) yang diketahui sebagai bentuk Cr yang sangat beracun, dan yang lain adalah Cr(III) yang sedikit pergerakannya, tidak beracun, dan bahkan merupakan unsur yang esensial bagi manusia dan hewan (Liu et al 2006).
Kegiatan industri yang dapat menyebabkan adanya krom di dalam lingkungan antara lain industri cat, baja, tekstil, kulit, semen, keramik, dan kertas. Kontaminasi logam krom dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang tertumpuk di ginjal akan mengakibatkan keracunan akut yang akan ditandai dengan kecenderungan terjadinya pembengkakan pada hati dan dalam waktu yang cukup panjang akan mengendap dan menimbulkan kanker paru-paru. Tingkat keracunan krom pada manusia diukur melalui kadar atau kandungan krom dalam urine. Oleh karena itu, krom  merupakan logam yang sangat beracun dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Khairani et al 2007).

Kuersetin

                Kuersetin biasanya banyak terdapat pada tumbuhan dan merupakan senyawa flavonoid yang paling melimpah di alam. Kuersetin merupakan Aglikon (kurang molekul gula) dari flafonoid lainnya (Xing et al 2001). Nama IUPAC kuersetin adalah (3,4-dihidroksifenil)-3,5,7-trihidroksi-4-H-kromon-4on, dengan rumus molekul C15H10O7.2H2O, massa molar 338,27 g/mol, kerapatan curah 1,799 g/cm3, dan titik leleh 316 °C. Kuersetin berkhasiat sebagai obat prostatitis, penyakit hati, katarak, antiinflamasi, antialergi, anti kanker, bronkhitis, dan asma (Ryan & Hynes 2007).
                Kuersetin memiliki gugus fungsi karbonil dan hidroksil sehingga dapat membentuk kompleks dengan beberapa ion logam, misalnya Cr(VI) (Alvarez et al 1989), Fe(III) (Ryan & Hynes 2007), dan Pd (II) (Milica et al 1998). Selain itu dapat pula membentuk kompleks dengan Co(II), Ni(II), Cu(II), dan Zn(II) (Makasheva et al 2005).



Kemometrik

                Kemometrik merupkan seni mengekstrak informasi kimia dari data yang dihasilkan oleh suatu percobaan kimia (Wold 1995). Kemometrik menyediakan metode dalam mengurangi data berukuran besar yang diperoleh dari instrument seperti spektrofotometer (Varmuza 2002). Salah satu analisis spektrum yang terpenting adalah membentuk model kalibrasi melalui metode pengenalan pola untuk mengidentifikasi kemiripan dan pola utama data. Metode ini menghitung persamaan regresi berdasarkan spektrofotometri dan informasi analat yang diketahui. Selanjutnya, model ini digunakan untuk memprediksi sampel yang tidak diketahui (Brereton 2000).
                Kalibrasi multivariat merupakan salah satu bentuk model analisis kemometrik yang dapat digunakan untuk menentukan campurandari beberapa senyawa (Forina et al 1998). Metode kalibrasi multivariat ini dapat berupa multiple linear regression (MLR), principle component analysis (PCA), principle component regression (PCR), partial least square (PLS), dan artificial neural network (ANN) (Brereton 2000). Informasi yang selektif dapat diperoleh dari data yang tidak selektif dalam analisis spektra kuantitatif dengan menggunakan PLS (Hopke 2003).

Partial Least Square (PLS)

PLS telah digunakan secara luas sebagai model kalibrasi multivariate. PLS adalah metode yang berkembang dan umum dalam kemometrik untuk memprediksi variable respon (atau vektor) dari variable yang berkorelasi tinggi serta memberi pengaruh besar (Hwang & Nettleton 2002).
Prinsip PLS adalah menghitung nilai komponen utama data matriks X(hasil sumber percobaan) dan matriks Y (matriks repon) dan membangun model regresi antar nilai. PLS digunakan untuk memprediksikan serangkaian variabel tak bebas dari variabel bebas (prediktor) yang jumlahnya sangat banyak, memiliki struktur sistematil linear dan nonlinera dengan atau tanpa data yang hilang, dan memiliki kolinearitas yang tinggi. Untuk data sampel yang tidak diketahui, konsentrasi yang bervariasi pada sampel biasanya dapat memprediksi dengan ketepatan yang lebih baik (Hopke 2003). Metode ini membentuk model dari variabel-variabel yang ada untuk membentuk serangkaian respon dengan menggunakan regresi kuadrat terkecil dalam bentuk matriks (Varmuza 2003).



Surfaktan

Surfaktan (surface active agents), zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka. Surfaktan mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada rantai lurus. Sabun merupakan salah satu contoh dari surfaktan. Molekul surfaktan mempunyai dua ujung yang terpisah, yaitu ujung polar (hidrofilik) dan ujung non polar (hidrofobik) . Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air (Adamsons 1982).
Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan-ikatan hidrogen pada permukaan. Hal ini dilakukan dengan menaruh kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air. Sabun dapat membentuk misel (micelles), suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul sabun bersifat hidrofobik dan larut dalam zat-zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah benar-benar larut dalam air, tetapi dengan mudah akan tersuspensi di dalam air (Adamsons 1982)

Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer adalah sebuah instrumen yang mengukur absorbsi atau penyerapan cahaya dengan energi (panjang gelombang) tertentu oleh suatu atom atau molekul. Spektrofotometer yang digunakan dalam daerah spektrum UV (ultraviolet) dan visual (sinar tampak). Molekul dalam daerah energi ini akan mengalami transisi elektron. Spektroskopi UV-Vis merupakan suatu spektroskopi absorpsi berdasarkan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang 160 sampai 780 nm (Skoog et al. 2003). Spektrofotometer UV-VIS pada prinsipnya terdiri dari somber radiasi (source), monokromator, sel, fotosel (radiation transducer), dan detektor.
Spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisilan, diemisikan, atau direfleksikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Secara umum spektrofotometer UV-Vis memiliki 3 tipe yaitu rancangan berkas tunggal (single beam), rancangan berkas ganda (double beam), dan multichannel (Skoog et al 1998)
Absorbansi dari larutan sampel yang diukur Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk mengukur intensitas sinar yang dilalui menuju sample (I) dan membandingkannya dengan intensitas sinar sebelum dilewatkan ke sampel tersebut (I0). Rasio I/I0 disebut transmitan (T), sedangkan absorban diperoleh dari transmitan tersebut dengan rumus A= -log T sesuai dengan hukum dasarnya yaitu hukum Lambert Beer. Hukum Lambert-Beer ini juga memiliki kelemahan, yaitu kenaikan konsentrasi menjadi 2x atau 3x konsentrasi tidak mengubah nilai serapan menjadi 2x atau 3x serapan mula-mula. Ketidaklinieran hubungan antara serapan dengan konsentrasi tersebut dinamakan penyimpangan dari hukum Lambert-Beer (Harvey 2000).

Bahan dan Metode

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis double beam, kuvet kuarsa dengan tebal 1 cm, pH meter, software Minitab, software R dan peralatan kaca yang umum digunakan dalam laboratorium kimia.
Bahan-bahan yang digunakan adalah Fe(NO3)3.9H2O, K2Cr2O7.3H2O, kuersetin, etanol, CH3COOH, CH3COONa, setiltrimetilamonium bromida (CTAB).

Metode Penelitian

                Metode penelitian yang digunakan mengacu pada metode pada jurnal milik Alvarez et al (1989). Penelitian ini melalui beberapa tahapan yaitu, pencarian panjang gelombang maksimum pada kondisi optimum masing-masing, pengoptimuman kondisi analisis (nisbah konsentrasi Fe(III) dan Cr(VI), konsentrasi kuersetin, waktu reaksi, dan konsentrasi media miselar), pembuatan pola masing-masing ulangan, pemodelan terhadap kondisi optimum, penentuan kadar Fe dan Cr pada sampel sintetik dan pada sampel air limbah dengan menggunakan model yang didapat. Pemodelan data ditentukan dengan menggunakan software pengolah data Minitab.



Preparasi Larutan Induk

                Larutan induk standar Fe dan Cr masing-masing disiapkan. Larutan Standar Fe dibuat menggunakan Fe(NO3)3.9H2O, dibuat konsentrasi 100 ppm, disiapkan dengan cara melarutkan 0,0536 g Fe(NO3)3.9H2O dengan air bebas ion dalam labu takar 100 mL. Larutan Standar Cr dibuat menggunakan K2Cr2O7.3H2O, dibuat konsentrasi 100 ppm, disiapkan dengan cara melarutkan 0,0028 g K2Cr2O7.3H2O dengan air bebas ion dalam labu takar 100 mL. Larutan induk kuersetin dengan konsentrasi 2,9510-3 M disiapkan dengan melarutkan 0,1000 g kuersetin dengan campuran etanol-air bebas ion dengan menggunakan nisbah 1:1 (v/v) dalam labu 100 mL. Larutan buffer asetat disiapkan dari campuran asam asetat 0,1 M dengan natrium asetat 0,1 M pada kisaran pH 4,5 - 5,5.

Pengoptimuman Kondisi Analisis

                Larutan standar Fe(III), Cr(VI), kuersetin, dan CTAB disiapkan sebanyak 24 perlakuan dengan variasi yang berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan. Standar dengan 24 perlakuan ini dibuat spectrumnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada kisaran panjang gelombang 400-500 nm dengan kecepatan scanning medium yang akan digunakan untuk menentukan secara simultan kadar Fe(III) dan Cr(VI). Komposisi yang dipakai untuk pengoptimuman kondisi analisis di tunjukkan pada lampiran tabel 5
Spektrum yang didapatkan kemudian dibuat polanya sehingga dapat dibandingkan dengan ulangan lainnya,dan ditentukan ulangan terbaik untuk dilakukan pemodelan menggunakan metode PLS. Model yang didapatkan akan menunjukkan kondisi optimum untuk pemodelan dengan melihat selisih antara hasil prediksi PLS dengan nilai sebenarnya, kemudian kondisi perlakuan tersebut dipakai untuk memprediksi sampel yang tidak diketahui konsentrasinya.

Pengukuran Sampel
                Sebanyak 2,5 mL sampel yang diduga terdapat Fe(III) dan Cr(VI) dimasukkan ke dalam labu volumetrik 25 mL kemudian ditambahkan larutan buffer asetat, kuersetin dan media miselar pada kondisi optimum. Setelah itu labu ditera, dihomogenkan dan disimpan selama waktu optimum. Setelah itu diukur serapannya pada kisaran panjang gelombang antara 400 sampai 500 nm. Kadar Fe(III) dan Cr(VI) didapatkan melalui perhitungan dengan software minitab 14 dan software R-2.10.1 dengan kalibrasi multivariat metode PLS.

Pembahasan
                Pencarian kondisi optimum untuk masing-masing logam fe(III) dan Cr(VI) dilakukan untuk menentukan kisaran panjang gelombang yang akan digunakan untuk pengukuran  sampel. Acuan yang digunakan untuk penentuan ini adalah jurnal milik alvarez et al 1989 untuk Cr(VI) dan skripsi milik Fajrin 2009 untuk Fe(III). Pada Fe kondisi optimum yang dicapai adalah dengan menggunakan kuersetin 2.95 x10-5 M, konsentrasi Fe 5 ppm, pH 4.6, konsentrasi CTAB 8.22 x 10-4 dan waktu reaksi selama 45 menit. Sedangkan pada Cr(VI) kondisi optimum yang dicapai adalah dengan menggunakan kuersetin 2.95 x10-4 M, konsentrasi Cr 1 ppm, pH 4.6, konsentrasi CTAB 1.35 x 10-3 dan waktu reaksi selama 40 menit Sehingga dibuat variasi perlakuan pengoptimuman kondisi analisis seperti pada tabel 1.
                Pengoptimuman kondisi analisis di ukur pada kisaran panjang gelombang sinar tampak 400 – 500 nm, karena larutan berwarna kuning dan berdasarkan pustaka didapatkan kisaran panajang gelombang antara 423 – 440 nm. Hasil pembuatan pola pengoptimuman kondisi analisis. Gambar 1 hingga 4 adalah hasil pembuatan pola hubungan antara absorbansi terhadap panjang gelombang dapat dilihat pada gambar 2 sampai 5.

  
         
pada gambar 2 dan 3 terlihat bahwa pola hasil pengoptimuman kondisi analisis cukup berbeda nyata dengan gambar 4 dan 5. Hal ini disebabkan karena pada saat pembuatan ulangan 1 timbul banyak endapan yang mengakibatkan nilai absorbansi dari sampel yang diukur terlalu tinggi dan hasil yang didapatkan dari pengukuran tersebut tidak valid dan terdapat galat yang cukup tinggi. Endapan yang terjadi disebabkan karena perbandingan pelarut alcohol dan air kurang tepat. Semakin besar rasio air maka endapan yang timbul akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena kromofor yang digunakan (kuersetin) kurang larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol.
                Sedangkan pada ulangan kedua juga didapatkan hasil yang cukup jauh dengan ulangan yang lainnya, hal ini disebabkan karena pereaksi yang digunakan tidak langsung digunakan, dan telah didiamkan beberapa lama, hal ini dapat menyebabkan rusaknya pereaksi yang digunakan, terutama kuersetin. Kuersetin memiliki sifat mudah rusak bila didiamkan dalam waktu yang cukup lama.
                Berbeda dengan ulangan 1 dan 2, pola pengoptimuman kondisi analisis pada ulangan 3 dan 4 terlihat mirip, sehingga dapat dikatakan ulangan 3 dan 4 memiliki keterulangan yang tinggi. Ulangan 3 dan 4 dilakukan secara acak dan menggunakan pereaksi yang baru dibuat, sehingga hasil yang didapatkan dari kedua ulangan tersebut mirip dan dapat digunakan sebagai model untuk kalibrasi multivariat.
                Berikut ini adalah  hasil pemodelan yang telah dilakukan terhadap ulangan 3 dan 4 Hasil pemodelan diatas merupakan hasil pemodelan dengan kalibrasi multivariat Point Least Square terhadap ulangan 3 dan 4. Hasil pemodelan ini juga dapat menunjukkan nilai prediksi dari konsentrasi Cr(VI) dan Fe(III) dalam campuran sampel pada beberapa variasi perlakuan.





Tabel  1 Hasil Pencarian Kondisi optimum

Ulangan
Sampel
e2
RMSEP
Fe
Cr
Fe
Cr
3
Ba2 t45
-
9.41x 10-7
1.013
0.356
Cb1 t40
0.0340
-
4
Bb1 t45
0.0012
5.66x 10-6
0.872
0.324

                Nilai ∑e2 Fe merupakan total galat  dari prediksi konsentrasi Fe dan konsentrasi Fe sebenarnya pada masing masing perlakuan, sedangkan nilai e2 Cr merupakan total galat  dari prediksi konsentrasi Cr dan konsentrasi Cr sebenarnya pada masing masing perlakuan. Perhitungan RMSEP(Root Mean Square Error Prediction) memiliki tujuan untuk mengetahui model terbaik dan untuk mengetahui prediksi galat dari tiap ulangan yang telah dilakukan. Semakin kecil nilai RMSEP dari ulangan maka semakin sedikit galat yang terjadi pada ulangan tersebut
                Berdasarkan pemodelan yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa nilai RMSEP dari ulangan keempat lebih kecil daripada ulangan ketiga, artinya adalah galat total yang terjadi pada ulangan keempat lebih sedikit dibandingkan ulangan ketiga sehingga nilai konsentrasi prediksi Fe(III) dan Cr(VI) yang dapat diambil untuk menentukan variasi terbaik adalah pada ulangan keempat.
                Ulangan keempat dapat menunjukkan bahwa nilai e2 terendah pada sampel Bb1 t45 dengan variasi perbandingan konsentrasi Fe : Cr sebesar 10 ppm: 1 ppm, konsentrasi kuersetin sebesar 2.95x10-5 M, konsentrasi CTAB sebesar 1.35x10-3 M, dan waktu reaksi 45 menit. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi optimum yang akan digunakan dalam penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya.
                Penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya dilakukan dengan cara memvalidasikan hasil pemodelan dengan hasil pengukuran sampel yang tidak diketahui konsentrasi awalnya. Penentuan ini dilakukan dengan menggunakan software statistika R, hal ini dilakukan karena software minitab tidak dapat menghitung data dalam jumlah yang terlalu banyak.
                Hasil pengukuran terhadap sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya divalidasika ke dalam model yang telah didapatkan, hasil penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya diuraikan pada tabel 2.

Tabel 2 Hasil penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya
Sampel
Ulangan
konsentrasi prediksi(ppm)
konsentrasi  sebenarnya
(ppm)
Cr
Fe
Cr
Fe
A
1
1.2900
7.2480
1
2.5
2
1.2633
7.6054
3
1.2521
7.7559
B
1
0.9521
11.7803
1
10
2
0.9694
11.5480
3
0.9129
12.3051
C

1
1.1541
9.0704
1
5
2
1.1508
9.1141
3
1.1628
8.9544

Pada tabel 3 Perlakuan sebelum pengukuran menggunakan kondisi optimum yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Hasil dari pemodelan tersebut menunjukkan hasil yang kurang bagus terhadap konsentrasi prediksi pada Fe, hasilnya cukup jauh dengan nilai yang sebenarnya hal ini dapat disebabkan karena Fe hanya ion pengganggu dari kompleks kuersetin (alvarez et al 1989). Walaupun dapat membentuk kompleks dengan kuersetin, tetapi kompleks Fe(III) kuersetin ini juga mudah mengalami transfer elektron pada sisi katekol dari kuersetin (Ryan & Hynes 2007).
                Reaksi yang terjadi antara kuersetin dengan Cr(VI) lebih kuat daripada dengan Fe(III), kehadiran surfaktan pada reaksi pembentukan kompleks antara Cr(VI) dan kuersetin juga dapat membuat reaksi tersebut menjadi lebih peka (Rafi M 2009). Reaksi yang terjadi pada pembentukan kompleks yaitu Cr(VI) yang merupakan oksidator kuat akan mengoksidasi kuersetin (dengan membuka cincin γ-piron), ion Cr(III) akan terbentuk dari proses oksidasi kuersetin oleh Cr(VI) yang kemudian akan membentuk kompleks dengan kuersetin yang telah teroksidasi (Alvarez et al 1989).
                Secara keseluruhan hasil yang didapatkan belum cukup baik, karena hasil validasi model yang dilakukan cukup berbeda dari hasil sebenarnya, hal ini dapat disebabkan karena masih terdapat logam-logam pengganggu yang dapat berinteraksi dengan kuersetin, selain itu kompleks yang terjadi antara Fe(III) dengan kuersetin kurang baik, karena kompleks Fe(III)-kuersetin mudah mengalami dekomposisi.


Simpulan dan Saran

Simpulan
                Penentuan ulangan yang akan digunakan dalam pencarian kondisi optimum dilakukan dengan cara membuat plot masing-masing ulangan dan didapatkan ulangan yang akan dimodelkan yaitu ulangan 3 dan 4. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan terhadap ulangan 3 dan 4 didapatkan kondisi optimum dengan variasi perbandingan konsentrasi Fe : Cr sebesar 10 ppm: 1 ppm, konsentrasi kuersetin sebesar 2.95x10-5 M, pH 4.6, konsentrasi CTAB sebesar 1.35x10-3 M, dan waktu reaksi 45 menit. Hasil yang didapatkan dengan memvalidasikan data pengukuran dengan model yang didapatkan kurang memberikan hasil yang cukup baik.

Saran
                Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan senyawa kromofor yang berbeda yang dapat membentuk kompleks dengan ion Fe(III) dan Cr(VI) tanpa dipengaruhi adanya ion pengganggu. Selain itu perlu dilakukan pemodelan ulang dengan menggunakan kondisi optimum, sehingga hasil konsentrasi prediksi senyawa yang tidak diketahui konsentrasi awalnya akan lebih baik

Daftar Pustaka

Abdollahi H. 2001. Simultaneous spectrophotometric determination of chromium(VI) and iron(III) with chromogenic mixed reagents by H-point standard addition method and partial least squares regression. Analytica Chimica Acta 442 : 327-326.

Adamsons, Arthur W. 1982. Physical Chemistry of Surface. A wiley-Interscience Publication, United State of America.

Alvarez MJ, Gracia ME, Medel AS. 1989. The coplexation of Cr(III) and Cr(VI) with flavones in micellar media and its use for the spectrophotometric determination of chromium. Talanta 36:919-923.

Brereton RG. 2000. Introducing to multivariate calibration in analytical chemistry. Analyst 126: 2125-2154

Darwono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Hidup. Jakarta: UI-Press.

Fajrin R. 2009. Kompleksasi Fe(III) – kuersetin pada media miselar dan penggunaannya untuk penentuan Fe(III) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Forina M, Casolino MC, Martinez CP. 1998. Multivariate Calibration: Applications to pharmaceutical analysis. J Pharm Biomed Anal 18: 21-33

Harvey D. 2000. Modern Analitycal  Chemistry. Ed Internasional. Boston : McGraw-Hill.

Herve

Hopke PK. 2003, The evolutio of chemometrics. Anal Chem Acta 500: 365-377.
Hwang JTG, Nettleton D. 2002. Principal Components regression with data choosen components and related methods. Analyst 53:899-962

Kazemi L, Atabati M, Zarei K. 2004. Simultaneous determination of Fe(II) and Fe(III) in pharmaceutical formulations with chromogeic mixed reagent y using principal component artificial neural network and multivariate calibration. II Farmaco 60:37-42.

Khairani N, Azam M, Sofjan K, dan Soeleman. 2007. Penentuan Kandungan Unsur Krom Dalam Limbah Tekstil Dengan Metode Analisis Pengaktifan Neuron. Berkala Fisika 10: 35-43.

Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analalitik. A. Saptoharjo, penerjemah. Jakarta: UI-P. Terjemahan dari : Basic Concepts of Analitycal Chemistry.

Liu Y, Deng L, Chen Y, Wu F, and Deng N. 2006. Simultaneous photocatalytic reduction of Cr(VI) and oxidation of bisphenol A induced by Fe(III)-OH complexes in water. Journal Of Hazardous Materials 139:399-402.

Makasheva NE, Makashev YA, Sharonov BP,Grachev SA, Mironov VE. 1976. The kinetics of complex formation of some transition metals in quercetin and morin. Russian Chemical Bulletin 25:885-886.

Maria B, Anna T, Elzbieta SF. 2008. Selective determination of Fe(III) in Fe(II) samples by UV-spectrophotometry with the aid of quercetin and morin. Acta Pharmaceutica 58:327-334

Milica G, Vesna K, Slavica B, Dusan M, Zorica R. 1998. Spectrofotometric investigation of the Pd(II)-quercetin complex in 50% ethanol. Chemical Monthly 129:41-48.
 
Narayana B & Cherian T. 2005. Rapid spectrophotometric determination of trace amounts of chromium using variamine blue as chromogenic reagent. J Braz Chem Soc 16:197-201.

Otto Matthias. 1999. Chemometrics: statistics and computer application in analytical chemistry. New York; Chichester; Brisbane; Singapore;  Toronto: Wiley-VCH ISBN 3-527-29628-X.

Paul Gemperline, 2006. Practical guide to chemometrics. 2nd Edition CRC Press Taylor & Francis Group, ISBN 1-57444-783-1.

Puri BK, Gautam M. 1978. Spectrophotometric determination of chromium(III) and rhodium(III) after extraction with oxine into molten naphthalene. Talanta 25:484-485

Rodriguez AMG, Torres AG, Pavon JMC, Ojeda CB. 1998. Simultaneous determination of iron, cobalt, nickel and copper by UV-visible spectrophotometry with multivariate calibration. Talanta 47: 463-470.

Ryan P, Hynes MJ. 2007. The kinethics and mechanism of the reactions of iron (III) with quercetin and morin. Journal of Inorganic Biochemistry 102: 127-136.

Skoog DA, Holler FJ, Niemann TA. 1998. Principle of Instrumental Analysis. Ed ke 5. Florida : Saunders College.

Snell FD. 1978. Photometric and Flourometric Methods of Analysis. Vol 1. New York: John Wiley & Sons.

Varmuza K. 2002. Applied Chemometric: Form Chemical Data Relevant Information [terhubung berkala]. http://www.vias.org/tmdatanaleg/ccmultica.pdf(25 November 2010)

Vogel AI, Svehla G. 1982. Analisis anorganik kualitatif makro dan semimikro. Ed ke-5. Setiono dan Hadyana Pudjaatmaka, penerjemah. Jakarta: Kalman Media Pustaka. Terjemahan dari Macro and Semi micro qulitative Inorganic Analysis.

Wold S. 1995. Chemometrics : What Do We want From It?. Chem Intel Lab Syst 30: 109-115

Xing N, Chen Y, Mitchell SH, and Young CYF. 2001. Quercetin inhibits the expression and function of the androgen receptor in LNCaP prostate cancer cells. Carcinogenesis 22:409-414.


1 komentar: